Halaman

Jumat, 04 Mei 2012

Ibnu Rusyd


Ibnu Rusyd terkenal sebagai pengulas Aristoteles (comentator) suatu gelar yang diberikan oleh Dante. Gelar ini memang tepat untuknya, karena fikiran-fikiran mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan kepada kemurniannya yang semula.

Ibnu Rusyd memandang Aristoteles sebagai manusia sempurna dan ahli fikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur dengan kesalahan.
Ibnu Rusyd selama hidupnya berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles apabila difahami sebaik-baiknya, maka tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, bahkan perkembangan kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi pada diri Aristoteles sehingga tidak ada orang yang melebihinya.
Pemikiran Teologi Ibnu Rusyd meliputi Wujud Tuhan, sifat-sifatnya, dan hubungan Tuhan dengan alam. Tentang ketuhanan dibicarakan Ibnu Rusyd dalam bukunya “Tahafut-ut-Tahafut” & Manahijul Adilah. Dalam buku fashlul-maqal, Ibnu Rusyd membagi syari’at menjadi 2 bagian, yaitu arti lahir & arti yang ditakwilkan.
Setelah Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan yang timbul dalam Islam, maka menurut pendapatnya yang paling terkenal ada 4, yaitu Asy’ariyah, Mu’tazilah, Batiniyah, & Hasyulah. Masing-masing golongan mempunyai kepercayaan yang berlainan tentang Tuhan, dan banyak memindahkan kata-kata Syara’ dari arti lahirnya kepada takwilan-takwilan yang disesuaikan dengan kepercayaannya. Kemudian mereka mengira bahwa kepercayaannya itulah yang merupakan syari’at yang harus di anut oleh semua orang dan barang siapa yang menyimpang dari padanya berarti kafir atau telah menjadi bid’ah.
Pada garis besarnya Ibnu Rusyd berusaha mengeluarkan fikiran-fikirannya yang sebenarnya dari kata-kata Aristoteles & ulasan-ulasannya. Ia juga berusaha menjelaskan fikiran-fikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam lapangan Ketuhanan, dimana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai persoalan dan dalam mempertemukan antara agama dengan filsafatnya nampak jelas kepada kita.


























BAB II
PEMBAHASAN
IBNU RUSYD

A.   Riwayat Hidup dan Karyanya.
Ibnu Rusy adalah seorang filosof Islam yang cukup masyhur. Ia adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd, kelahiran Cordova pada tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan neneknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd Nenek” (al-Jadd) adalah kepala  hakim di Cordova.
Pada usia 18 tahun Ibnu Rusyd berpergian ke Maroko, dimana ia belajar kepada Ibnu Thufail. Ada dalam ilmu Tauhid beliau berpegang kepada paham Asy’ariyah dan ini membukakan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat. Pendek kata Ibnu Rusyd adalah tokoh filsafat, agama, syari’at dan kedokteran yang terkenal pada waktu itu. Beliau wafat di Maroko pada tahun 1198.
Pada mulanya Ibnu Rusyd mendapat kedudukan yang baik dari Khalifah Abu Yusuf Al-Mansur (masa kekuasaannya 1148-1194 M) sehingga pada waktu itu Ibnu Rusyd menjadi raja semua pikiran, tidak ada pendapat kecuali pendapatnya, dan tidak ada kata-kata kecuali kata-katanya. Akan tetapi, keadaan tersebut segera berubah karena ia dipersona-nongratkan oleh Al-Mansur dan dikurung di suatu kampung Yahudi bersama Alisanah sebagai akibat fitnahan dan tuduhan telah keluar dari Islam yang dilancarkan oleh golongan penentang filsafat, yaitu para fuqaha masanya.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan Al-Mansur tentang kebersihan dari Ibnu Rusyd dari fitnahan dan tuduhan tersebut. Akan tetapi, tidak lama kemudian fitnahan dan tuduhan dilemparkan lagi pada dirinya, dan termakan pula. Sebagai akibatnya, kali ini ia diasingkan ke negeri Maghribi (Maroko), buku-buku karangannya dibakar dan ilmu filsafat tidak boleh lagi dipelajari. Sejak itu murid-muridnya bubar dan tidak berani lagi menyebut-nyebutnya.
Karyanya terdiri dari 28 buku mengenai filsafat, 5 buku mengenai agama, 8 buku mengenai hukum Islam dan 10 buku mengenai kedokteran. Dalam filsafat cara berpikir Ibnu Sina disempurnakan oleh Ibnu Rusyd, sehingga pengaruhnya dalam filsafat Eropa lebih besar dari pengaruh Ibnu Sina sendiri.
Di dunia Islam sendiri Ibnu Rusyd terkenal sebagai seorang filsuf yang menentang Al-Ghazali. Bukunya yang khusus menentang filsafat Al-Ghazali, Tahafutul-tahafut, adalah reaksi atas buku Al-Ghazali, Tahafut-Fatasifah. Dalam bukunya itu Ibnu Rusyd membela kembali pendapat ahli filsafat Yuanani dan Islam yang telah diserang habis-habisan oleh Al-Ghazali. Dan seperti Al-Farabi dia juga mengemukakan prinsip hukum kausal dari Aristoteles.
Di dunia Islam filsafat Ibnu Rusyd tidak terpengaruh besar. Oleh sebab itu namanya tidak seharum nama Al-Ghozali. Malah, karena isi filsafatnya yang dianggap sangat bertentangan dengan pelajaran agama Islam yang umum, Ibnu Rusyd dianggap orang zindik. Karena pendapatnya itu juga dia pernah dibuang oelah Kfalifah Abu Yusuf (pengganti Abu Ya’kub), diasingkan ke Lucena (Alisana).
Karangannya meliputi berbagai-bagai ilmu, seperti: fiqh, usul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan, atau keringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisis, Platinus, Galinus, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Bajjah.
Buku-bukunya yang lebih penting dan sampai kepada kita ada empat yaitu:
1.      Bidyatul-Mujtahid, ilmu fiqh. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqh dengan menyebutkan alasan masing-masing.
2.      Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati was; Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian anatara filsafat dan syari’at, dan juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh Muller, pada tahun 1895.
3.      Tahfut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapngan filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela filsafat dari serangan Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Buku Tahafut at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh van den Berg terbit pada tahun 1952 M.

B.   Pemikiran Teologi Ibnu Rusyd
1.   Peranan Akal Dalam Filsafat
Ibnu Rusyd merupakan seorang filosof Islam yang mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat yang erat kaitannya dengan akal.
Didalam kitabnya, Fashul Maqal... , Ibnu Rusyd menandaskan bahwa logika harus dipakai sebagai dasar segala penilaian tentang kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus belajar memikirkannya secara logika. Akan tetapi, disamping mementingkan logika sendiri dalam memecahkan masalah yang gaib dan aneh yang berhubungan dengan agama.
Mengenai tujuan agama sendiri Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pokok tujuan syari’at Islam yang sebenarnya ialah pengetahuan yang benar dan amal perbuatan yang benar (al-ilmulhaq wal-amalul-haq).
Mengenai pengetahuan, menurut Ibnu Rusyd maksudnya untuk mengetahui dan mengerti adanya Allah Ta’ala serta segala alam maujudat ini pada hakikatnya yang sebenarnya apa maksud syari’at itu, dan apa pula yang dikehendaki dengan pengertian kebahagiaan di akhirat (surga) dan kecelakaan akhirat (neraka).
Maksud amal yang sebenarnya ialah mengajak dan menjauhkan pekerjaan-pekerjaan yang akan mengakibatkan penderitaan. Mengetahui tentang amal perbuatan seperti inilah yang dinamakan ilmu yang praktis (al-ilmul-amaliah)
2.   Problem Filsafat Ibnu Rusyd
Didalam filsafat Ibnu Rusyd terdapat lima problem yang sangat mendasar, yaitu : pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal juziyat; terjadinya alam maujudat dan perbuatannya; keazalian dan keabadian alam; gerak dan keadzaliannya; serta akal yang universal dan satu.
a.   Pengetahuan Tuhan
Di dalam filsafat Ibnu Rusyd terdapat pertanyaan: Apakah Tuhan mengetahui segala rincian juziyat? Menjawab soal ini Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat Aristoteles yang sangat disetujui. Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui soal juziyat. Halnya sama  seperti seorang kepala negara yang tidak mengetahui soal-soal kecil di daerahnya.
Pendapat Aristoteles itu didasarkan atas semua sesuatu argumen sebagai berikut: yang menggerakkan itu, yakni Tuhan al-Mukharrik, merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang tinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula tidak mungkin Tuhan mengetahui selain zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil-kecil (jurziyat), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna. Dan ini tidak wajar. Maka itu, sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri.
Aristoteles menggambarkan sebagai kehidupan yang badai, sempurna dari segala segi, dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri itu.
Argumen Aristoteles oleh Ibnu Sina disetujui, tetapi dibantah keras oleh Al-Ghazali. Sekarang datang Ibnu Rusyd yang membela pendapat Aristoteles dan Ibnu Sina ini dan menentang serangan-serangan Al-Ghazali terhadap kaum filsafat itu. Dalam pembelaannya itu Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mereka yang mendakwa ahli filsafat yang memungkiri pengetahuan terhadap juziyat itu disebabkan karena mereka tidak dapat mengetahui maksud ahli-ahli filsafat. Padahal, maksud ahli-ahli filsafat itu ialah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa.
Di sini kelihatan sekali bagaimana Ibnu Rusyd berusaha memprtahankan pendirian ahli-ahli filsafat dengan segala cara dan kecakapannya. Sebagai penganut aliran Aristoteles dia mencari jalan agar jangan begitu saja meninggalkan pendapat Aristoteles disamping dia tetap pula tidak ingin meninggalkan prinsip-prinsip agama.
Di sini terlihat perbedaan besar antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Al-Ghazali bermaksud mempertahankan kemurnian agama, sedangkan Ibnu Rusyd bermaksud mengadakan kompromi antara filsafat dan agama yang sepintas saling berlawanan satu sama lain.
b.   Amal Perbuatan
Dalam masalah amal perbuatan timbul masalah mendasar yaitu: Bagaimanakah terjadinya alam manjudat ini dan amal perbuatannya?
Bagi golongan agama jawabannya sudah jelas. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah ciptaan Tuhan. Semua benda atau peristiwa, baik besar atau pun kecil, Tuhanlah yang menciptakannya dan memeliharanya (rabbil-alamin), setiap saat tak pernah lupa dan tak pernah lalai. Sebaliknya bagi golongan filsafat menjawab persoalan itu harus ditinjau dengan akal pikiran. Di antara mereka ada yang menyimpulkan bahwa materi itu azali, tanpa permulaan terjadinya. Dan perubahan materi itu menjadi benda-benda lain yang beraneka macam terdapat di dalam kekuatan yang ada di dalam maksud itu sendiri secara otomatis. Artinya tidak langsung dari Tuhan.
Diantara ahli filsafat itu juga ada yang berpendapat bahwa materi itu abadi (kekal). Ia terdiri atas bermacam-macam jauhar. Tiap-tiap jauhar mengadakan jauhar yang baru. Materi itu terjadinya bukan dari tidak ada (adam), melainkan dari keadaan yang potensial (bil-quwwah).
Ahli filsafat lain mengatakan bahwa disamping materi itu azali, juga Tuhan tidak ada hubungan dengan materi itu.
Aristoteles sendiri berpendapat bahwa jauhar (substansi) pertama dari materi itu menyebabkan adanya jauhar yang kedua tanpa berhajat bantuan zat lain di luar dirinya. Ini berarti bahwa sebab dan akibat penciptaan dan amal materi itu seterusnya terletak pada diri itu sendiri.
Ibnu Rusyd dapat menerima pendapat Aristoteles ini dengan menjelaskan pula argumennya sebagai berikut : Seandainya Tuhan itu menjadikan segala sesuatu dan peristiwa yang ada ini, maka akibatnya ide tentang sebab dan akibat itu tidak akan ada artinya lain. Padahal, seperti yang kita lihat sehari-hari, apa pun yang terjadi dalam masa ini senantiasa diliputi oleh hukum sebab dan akibat (musabab). Misalnya api yang menyebabkan terbakar, dan air yang menyebabkan basah.
c.    Keazalian Alam
Dalam masalah ini timbul pertanyaan : Apakah alam ini ada permulaan terjadinya atau tidak?
Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa alam ini azali tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd keazalian Tuhan itu berbeda dengan keazalian alam, sebab keazalian Tuhan lebih utama dari keazalian alam. Untuk membela pendapat ia mengeluarkan argumen sebagai berikut : Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya maka ia hadits (baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikannya itu harus ada pula yang menjadikannya lagi. Demikianlah berturut-turut tak habis-habisnya. Padahal keadaan berantai demikian (tasalsul) dengan tiada berkeputusan itu akan merupakan hal yang tidak dapat diterima akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadits.
Oleh karena di antara Tuhan dengan alam ini ada hubungan meskipun tidak sampai pada soal-soal rincian, padahal Tuhan azali dan Tuhan yang azali itu akan berhubungan kecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali meskipun keazaliannya kurang utama daripada keazalian Tuhan.
d.   Gerakan yang Azali
Gerakan adalah suatu akibat karena setiap gerakan senantiasa mempunyai sebab yang mendahuluinya. Kalau kita cari sebab itu, maka tidak akan kita temui sebab penggeraknya pula. Begitulah seterusnya, tidak mungkin berhenti. Oleh sebab itu, kewajiban kita menganggap bahwa sebab yang paling terdahulu atau sebab yang pertama adalah sesuatu yang bergerak. Gerakan itu dianggap tiada berwal dan tiada berakhir, azali dan abad, dan sebab pertama (prima causa) atau penggerak pertama itulah yang disebut Tuhan.
Selanjutnya Ibnu Rusyd mengatakan bahwa meskipun Tuhan adalah sebab penggerak yang pertama, Dia hanyalah menciptakan gerakan pada akal yang pertama saja, sedangkan gerakan-gerakannya selanjutnya (peristiwa-peristiwa di dunia ini) disebabkan oleh akal-akal selanjutnya. Dengan demikian, menurut Ibnu Rusyd, tidak dapat dikatakan adanya pimpinan langsung dari Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa di dunia.
e.   Akal yang Universal
Menurut Ibnu Rusyd akal itu (seperti yang dimaksudkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina) adalah suatu satu universal. Maksudnya bukan saja “akal yang aktif” (active intellect, al-aqual fa’al) adalah Esa dan universal, tetapi juga “akal kemungkinan”, yakni akal reseptif (al-aqlu bil-quwwah), adalah Esa dan universal, sama dan satu bagi semua orang.
Hal ini berarti bahwa segala akal dianggap sebagai monopsikisme. Menurut Ibnu Rusyd “akal kemungkinan” barulah merupakan individu tertentu (diindiridualkan) atau ditakhsiskan tatkala dia berhubungan dengan suatu bentuk materi atau tubuh orang perseorangan. Dan ini berarti bahwa bila seseorang meninggal dunia maka akal kemungkinan (akal reseptif) itu pun sudah tidak ada lagi. Dengan kata lain, akal kepunyaan orang perseorangan tidak mempunyai keabadian, tetapi yang kekal dan abadi itu ialah akal universal, yakni asal sumber dan tempat kembalinya akal kemungkinan manusia individual.
Perlu kita jelaskan bahwa pengakuan Ibnu Rusyd tentang akal yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksudkan dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). Maksud Ibnu Rusyd, roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal).
3.   Tinjauan Metafisika Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd telah membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifatnya dan hubungan Tuhan dengan alam. Ketiga hal tersebut menjadi pokok pembahasan metafisika Ibnu Rusyd. Di samping itu Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan Islam dalam mencari Tuhan. Golongan tersebut terdiri dari Asy’ariyah, Mutazilah, Batiniah, dan Hasywiah : masing-masing golongan tersebut memiliki pandangan tersendiri tentang Tuhan. Disamping itu Ibnu Rusyd juga meninjau pemikiran Ibnu Rusyd.
Tentang Ghazali, maka menurut Ibnu Rusyd, ia telah mengisi bukunya Tahafut al-Falasifah dengan pikiran-pikiran sofistis, dan kata-katanya tidak sampai kepada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya terhadap filsafat itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filosof-filosof dengan cara demikian, tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari satu dan dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami pikiran-pikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan di sini secara benar-benar dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan orang-orang yang bodoh.
Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak terdapat pada Al-Ghazali. Akan tetapi “kedua balap kadang-kadang terantuk”, demikan kata pepatah. Dan bagi Al-Ghazali, terantuknya itu ialah karena ia menuliskan buku Tahafutnya tersebut. Boleh jadi penulisannya itu dilakukan karena melayani selera masa dan lingkungannya.
Golongan Asy’ariyah mengatakan bahwa kepercayaan tentang wujud Tuhan tidak lain adalah melalui akal. Menurut Ibnu Rusyd, untuk ini mereka tidak menempuh jalan yang ditunjukkan oleh syara karena berdasarkan baharunya alam atas tersusunnya dari bagian-bagian yang tidak terbagi-bagi itu adalah baru. Kalau kita memperhatikan alam ini baru, maka ia mesti ada pembuatnya yang baru, dan pembuat ini membutuhkan kepada pembuat yang lain, dan begitu seterusnya samapai tidak berkesudahan. Kalau kita memperhatikan alam ini qadim (azali), maka pembuat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang dibuatnya adalah qadim pula, dan dengan demikian maka perkara-perkara yang dibuatnya tersebut adalah qadim juga.
Golongan mutakllimin Asy’ariyah mengatakan bahwa perbuatan yang baru adalah karena iradah (kehendak) yang qadim. Maka Ibnu Rusyd menjawab bahwa perkataan tersebut tidak dapat diterima, karena iradah itu bukan perbuatan yang berhubungan dengan perkara yang dibuat. Jika perkara yang tersebut baru, karena perbuatan itu dari zat yang membuat, lain dari perkara yang dibuat, dan lain pula dari iradah. Lagi pula iradah tersebut menjadi syarat adanya perbuatan, bukan perbuatan itu sendiri.
Dengan demikian, maka jalan yang ditempuh oleh golongan Asy’ariyah tentang barunya alam tidak dapat dipahami orang-orang awam, tetapi juga tidak memuaskan bagi golongan filosof, karena jalan tersebut bersifat jadali bukan burhani. Atau dengan kata lain, jalan tersebut tidak teoritis burhani, bukan pula jalan dari syara yang meyakinkan. Jalan-jalan dari syara apabila diteliti, maka mengandung dua syarat, yaitu meyakinkan dan bersahaja tidak tersusun, yakni tidak banyak dasr-dasar pikirannya yang dengan sendirinya juga kesimpulannya bersahaja pula.
Mengenai golongan Mutazilah, maka Ibnu Rusyd, sebagaimana yang diakuinya sendiri, tidak mengetahui metode-metodenya, karena kitab-kitab dari golongan-golongan itu yang sampai di Mutazilah tidak ada. Tampaknya metode mereka tidak berbeda dengan metode Asy’ariyah.
Golongan Hasywiah berpendirian bahwa jalan mengetahui Tuhan ialah sama’ (pendengaran, riwayat), bukan akal (pikiran). Iman bagi mereka ialah mendengarkan apa yang dikatakan syara’ tanpa mengusahakan syara’. Mereka jelas tidak memenuhi syara’ yang mengajak untuk mempercayai wujud Tuhan melalui dalil-dalil.
Mengenai golongan tasauf, maka menurut Ibnu Rusyd cara penelitian mereka bukan bersifat pikiran, yakni yang terdiri dari dasar-dasar pikiran atau premisse-premisse dan kesimpulan, karena mereka mengira bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud lain diterima oleh jiwa ketika sudah terlepas dari hambatan-hambatan kebendaan dan ketika pikirannya tertentu kepada perkara yang dicarinya. Cara tersebut menurut Ibnu Rusyd bukanlah cara kebanyakan orang, yakni sebagai makhluk yang mempunyai pikiran dan diserukan memakai pikirannya. Selain itu, jalan tersebut menyalahi syara’ yang menyerukan pemakaian pikiran.
Mengenai adanya Tuhan, Ibn Rushdi mengemukakan bahwa ada dua cara untuk membuktikanhnya, yaitu: Kedua cara ini dimulai dari manusia dan tidak dari alam, karena manusia itu yang berpikiran. Dengan penelitian dan penyingkapan rahasia-rahasia alam oleh akal, maka dalil al-inayah (Qur’an) memperkuat adanya Tuhan.
Segala makhluk dijadikan untuk dipergunakan oleh manusia bintang yang bersinar malam hari untuk menjadi petunjuk jalan. Susunan tubuh sesuatu, pantas untuk hidup dan wujud sesuatu itu. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd barangsiapa yang hendak mengetahui Tuhan yang sebenarnya haruslah mengadakan teori tentang benda-benda wujud. Seterusnya benda wujud dijadikan dan segala benda yang dijadikan berkehendak kepada yang menjadikan.
Pembahasan filsafat Ibnu Rusyd sangat banyak dan luas sekali. Kebenaran pembahasan filsafatnya tadi dapat dilihat dalam beberapa cabang filsafat yang telah menjadi pemikirannya. Karena itulah pemikirannya banyak dikenal dan dikagumi baik di luar maupun sesama filosof Islam.


4.   Keutusan Rasul-rasul dan mu’jizat
Persoalan kenabian dan keutusan Rasul-rasul merupakan soal yang penting dalam agama, sebagaimana yang sudah dibicarakan pada waktu membicarakan filsafat Al-Farabi mengenai kenabian. Oleh kernanya, ulama-ulama kalam sendiri banyak membicarakan soal keutusan rasul-rasul.
Ulama kalam memakai cara peng-qiyas-an, di mana mereka mengatakan bahwa oleh karena Tuhan berbicara dan mempunyai iradah (kehendak), dan oleh karena bagi orang yang berbicara dan ber-iradah itu bisa mengutus seseorang utusan kepada hamba-hambanya, maka bagi Tuhan juga bisa mengutus utusan-Nya. Akan tetapi oleh karena pengqiyas-an tersebut hanya bisa membawa kesimpulan yang bersifat kemungkinan saja, maka tidak bisa disebut qiyas-burhani, atau qiyas yang meyakinkan. Kelemahan ini didasari oleh golongan Asy’ariyah dan untuk itu mereka hendak memperkuat peng-qiyasan tersebut dengan mengatakan bahwa orang yang mengaku utusan Tuhan haruslah membawa tanda yang menunjukkan benar-benar bahwa ia diutus dari Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, dan tanda ini disebut “Mu’jizat”.
Meurut Ibnu Rusyd cara pembuktian demikian itu hanya bersifat memuaskan hati, tetapi tidak meyakinkan, dan sesuai untuk kebanyakan orang apabila diteliti lebih lanjut, maka akan nampak kelemahan-kelemahan pembuktian tersebut. Yaitu, dari mana kita mengetahui bahwa mu’jizat yang nampak pada seseorang yang mengaku nabi itu adalah tanda dari Tuhan yang menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar rasul-Nya. Keadaan ini tidak bisa ditetapkan oleh syara’, kerana syara’ belum lagi dapat ditetapkan, sebab menunggu penetapan kerasulannya itu. Akal-pikiran-pun tidak bisa menetapkan bahwa tanda tersebut adalah khusus untuk rasul-rasul, kecuali kalau memang tanda tersebut telah diketahui wujudnya berkali-kali dari orang-orang lain. Dan persoalannya di sini ialah menetapkan keutusan pertama bagi manusia dari Tuhan.
Jadi Ibnu Rusyd tidak merasa puas dengan pembuktian ulama kalam tentang keutusan pada umumnya dan keutusan Nabi Muhammad SAW pada khususnya, karena mengandung kelemahan-kelemahan. Di sinilah letak daya kreasi Ibnu Rusyd. Ia mengatakan, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengaku dirinya sebagai nabi dengan mengemukakan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam (mu’jizat-mu’jizat) sebagai tantangan terhadap lawan-lawannya, seperti mengganti tongkat menjadi ular, membelah lautan da sebagainya. Sebagai bukti, ketika orang-orang Quraisy dan lawan-lawan Nabi Muhammad SAW meminta tanda kebenaran kerasulannya, dengan memancarkan sumber air mereka atau menjatuhklan langit atas mereka, atau naik ke langit untuk mengambil kitab yang bisa mereka baca (baca: Al-Isra’ 92-93), maka Tuhan menyuruhnya untuk menjawab dengan kata-kata sebagai berikut: “Maha suci Tuhan-ku, aku ini tidak lain adalah manusia yang menjadi rasul” (al-Isra’ 93). Seolah-olah Nabi Muhammad SAW hendak mengatakan bahwa hal-hal yang menyimpang dari hukum alam itu adalah urusan Tuhan semata-mata, sedangkan aku ini manusia yang tidak mempunyai kekuasaan untuk itu, dan aku ini hanyalah semata-mata utusan Tuhan.
Akan tetapi kalau kita tidak mengemukakan sesuatu bukti atau mu’jizat lahiriah tentang kebenaran kerasulannya, maka bukti kerasulannya itu adalah A-Qur’an semata-mata yang benar-benar menjadi bahan tantangan terhadap orang banyak. Tetapi, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa Al-Qur’an itu benar-benar mu’jizat dan benar-benar bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW sedangkan Ibnu Rusyd sendiri sudah menunjukkan kelemahan cara pembuktian ulama kalam atas adanya kerasulan dengan mu’jizat-mu’jizat, terutama kerasulan dari Tuhan yang pertama kali.
Menurut Ibnu Rusyd, apabila kita membaca Al-Qur’an dan memahaminya benar-benar maka akan nampak kepada kita segi penunjukannya kepada sifat kenabian, karena membaca Al-Qur’an berisi pengetahuan-pengetahuan gaib yang tidak dikenal oleh Nabi Muhammad SAW sebelum menerima wahyu , dan susunan serta gaya-bahasanya tidak sama dengan perbuatan orang Arab seluruhnya.
Mu’jizat yang bisa menunjukkan dengan pasti atas kenabian seseorang nabi haruslah mu’jizat yang sesuai dengan segi ke-rasulan-nya, yaitu yang berisi petunjuk kepada orang banyak dengan syarat yang dibawanya itu, seperti halnya dengan menyembuhkan penyakit itu menunjukkan adanya sifat kedokteran bagi seseorang yang mengakui dirinya dokter.
Dari segi ini, maka Al-Qur’an merupakan mu’jizat yang terbesar, karena syari’at yang dimuatnya, berupa kepercayaan dan amalan yang tidak mungkin bisa dicari dan dipelajari melainkan dengan wahyu. Syari’at tersebut yang bertujuan menciptakan kebahagiaan manusia dan yang baru diperoleh sesudah mengetahui Tuhan dan berhubungan dengan-Nya, serta mengetahui arti bahagia dan kesengsaraan, kesemuanya ini termasuk pengetahuan yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan wahyu, atau kalau diperoleh melalui wahyu akan lebih utama.
Oleh karena perkara tersebut terdapat dalam Al-Qur’an menurut cara yang paling sempurna, maka dapatlah dipastikan bahwa Al-Qur’an tersebut adalah wahyu dari Tuhan dan merupakan firman Tuhan yang disampaikan melalui mulut Nabi Muhammad SAW. Keadaan ini diingatkan pula oleh Tuhan dengan firman-Nya dalam surah al-Isra’ 88 sebagai berikut:
“Katakan olehmu ya Muhammad, kalau sekiranya manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan seperti Qur’an maka mereka tidak bisa mendatangkannya, meskipun sebagiannya membantu sebagiannya yang lain”.
Jika sudah dapat dibuktikan bahwa Al-Qur’an merupakan mu’jizat dari segi susunan dan gaya bahasanya, dari segi persesuaiannya yang tinggi dengan kerasulan seseorang rasul dari Tuhan, untuk mengajarkan syari’at-syari’at yang diperlukan kepada mahluk untuk kebahgiaan mereka, maka sudah sepantasnya dan logis sekali kalau orang yang membawanya itu adalah seorang rasul, yakni Nabi Muhammad SAW, terutama kalau diingat bahwa ia dibesarkan sebagai ummi (buta huruf) dalam suatu umat yang ummi pula. Juga sebelum itu, ia tidak pernah mempelajari ilmu pengetahuan atau berusaha memahami alam semesta seperti yang kita kenal dari orang-orang Yunani. Untuk itu Tuhan mengatakan sebagai berikut:
“Tidaklah kamu membaca kitab sebelumnya, dan tidaklah kamu menulis dengan tangan-kananmu. Jika demikian maka ragu-ragulah orang yang hendak merobohkan Qur’an”. (Al-Ankabut 48)
Disamping itu, adanya segolongan orang yang dilpilih oleh Tuhan untuk menjadi rasul-rasul bagi makhluk-Nya sudah jelas sekali, dan sudah disepakati oleh filosof-filosof dan keseluruhan manusia, kecuali golongan Dahriyyah (materialist) yang tidak perlu dipegangi kata-katanya. Keadaan ini juga sudah diingatkan oleh Al-Qur’an dalam surat An-Nisa’ 163-164. ”Kami telah mewahyukan kepadamu (ya Muhammad), sebagaimana kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahnya........ Dan beberapa orang utusan yang telah Kami ceritakan kepadamu sebelumnya dan utusan-utusan lain yang tidak Kami ceritakan kepadamu”. Ringkasnya, apabila kita dapat mengetahui adanya rasul-rasul Tuhan untuk makhluk-Nya dan bahwa mu’kizat tidak bisa terjadi kecuali dari mereka, maka mu’jizat tersebut menjadi bukti  kebenaran kerasulannya.
Akan tetapi haruslah dicatat bahwa Ibnu Rusyd mengadakan pemisahan antara dua macam mu’jizat. Pertama mu’jizat-luaran (al-barrani), yaitu yang tidak sesuai dengan sifat yang karenanya seorang nabi disebut nabi, seperti menyembuhkan penyakit, membelah lautan dan sebagainya. Kedua mu’jizat yang sesuai (al-munasib) dengan sifat kenabiab tersebut, yaitu syari’at yang dibawanya untuk kebahagiaan manusia. Menurut Ibnu Rusyd, mu’jizat macam pertama sebenarnya hanya menjadi tanda penguat saja tentang adanya kerasulan tersebut, sedangkan tanda kerasulan yang sebenarnya bagi kerasulan tersebut ialah mu’jizat macam kedua. Mu’jizat macam pertama dikatakan sebagai jalan keimanan orang awam terhadap kenabian, sedangkan macam kedua adalah jalan keimanan bagi orang-orang ulama dan orang awam bersama, masing-masing menurut kesanggupannya sendiri. Tetapi apabila meneliti syari’at, maka mu’jizat macam kedualah yang menjadi dasar pegangan.
Dengan cara demikian Ibnu Rusyd bisa mengemukakan corak rasionalisme-nya yang tidak memahami mu’jizat seperti yang difahami ulama-ulama agama. Meskipun ia tidak tegas-tegas mengingkari mu’jizat luar tersebut, barangkali untuk menghindari kemarahan orang banyak, namun ia secara tidak langsung tidak mengakuinya, dengan berlindung kepada Syari’at juga yang tidak mendasarkan kebenarannya kepada semacam mu’jizat tersebut.
Ketika ia menangkis serangan Al-Ghazali yang menuduh filosof-filosof tidak mau mengakui jatuhnya Nabi Ibrahim dalam api dengan tidak terbakar dan tetapnya api sebagai api, maka Ibnu Rusyd dalam “Tahafut-ut Tahafut” mengatakan bahwa pengingkaran terhadap mu’jizat tersebut hanya dikeluarkan oleh orang-orang Islam zindiq (kafir). Tetapi filosof-filosof sendiri tidak mau membicarakan dan berdebat mengenai dasar-dasar syari’at. Katanya: “Oleh karena itu, tidak ada seorangpun dari filosof-filosof yang membicarakan soal mu’jizat di dunia, karena mu’jizat-mu’jizat adalah prinsip-prinsip bagi penetapan syari’at, sedang syari’at adalah dasar-dasar keutamaan. Maka apabila seseorang dibesarkan atas keutamaan-keutamaan Syara’ maka ia menjadi orang yang utama sekali. Kalau ia panjang usia dan mendapatkan kebahagiaan untuk menjadi ulama yang mendalam ilmunya, kemudian menemukan ta’wil (tafsiran) terhadap salah satu dasar-dasarnya, maka wajiblah ia untuk tidak mengemukakan ta’wilnya itu”.
Dengan perkataan lain, mu’jizat adalah jalannya orang-orang awam, sedangkan orang-orang alim mempunyai pendapatnya sendiri tentang mu’jizat tersebut yang tidak perlu dikemukakan kepada orang banyak. Begitulah pendapat Ibnu Rusyd tentang keutusan rasul-rasul. Sebenarnya syari’at mendasarkan penetapan adanya kerasulan dari Tuhan kepada dua macam mu’jizat, terutama kerasulan Nabi-nabi Musa a.s. dan Isa a.s, akan tetapi Al-Qur’an memang tidak bisa diragukan lagi merupakan mu’jizat yang sesuai sekali untuk kerasulan nabi Muhammad SAW.




























BAB III
ANALISIS

Ibnu Rusyd adalah tokoh pikir Islam yang paling kuat dalam pandangannya, paling hebat pembelaannya terhadap akal dan filsafat, sehingga ia benar-benar menjadi “filosof-pikiran” dikalangan kaum muslimin.
Pada garis besar filsafatnya, ia mengakui Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang sebenarnya dari celah-celah kat-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga berusaha menjelaskan pikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam lapangan Ketuhanan, dimana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai-bagai persoalan dan dalam mempertemukan antara agama dengan filsafat nampak jelas kepada kita.
Leon Gauthier mengatakan kepada Ibnu Rusyd sebagai berikut: “Inilah Ibnu Rusyd, seorang rasionalis dengan sepenuh arti kata. Meskipun demikian ia adalah seorang pemilih (elektis), luas ufuknya, dan ta’at beragama menurut caranya sendiri, suka menentukan macam-macam perbuatan ibadah dan kepercayaan-kepercayaan yang sesuai untuk tiap-tiap lapisan. Bagi orang awam dan kebanyakan orang adalah agama an-sikh, karena dalam keadaannya yang demikian itu agama merupakan suatu keharusan bagi pemeliharaan ketertiban masyarakat. Bagi filosof adalah agama-pokiran dan pembuktian, dimana dengan agama ia dapat memasuki kehidupan akal-faal dan keazaliannya. Ibnu Rusyd melihat kepada fiqih dengan pandangan yang agressif, karena fiqih tersebut tidak lagi mencerminkan jalan ibadah, dan lebih dekat kepada jalan ramai-ramai dan kekacauan. Orang-orang fukaha tidak berhak untuk dipaksa diam atau menghilang dari pandangan. Ibnu Rusyd melebihi tokoh-tokoh pikir sebelumnya yang telah meratakan jalan baginya dengan karangan-karangan (mereka). Oleh karena itu ia lebih luas penelaahannya daripada al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Bajah, lebih logis dan lebih teliti daripada Ibnu Sina, dimana Ibnu Rusyd mengkeritik  impian-impian sufi-nya, alasan-alasan pikirannya yang berupa angan-angan dan penenggangannya terhadap angan-angan orang awam dan ulama fiqih. Ibnu Rusyd telah dapat memberikan bentuk yang sempurna terhadap filsafat pilihan dari Aristoteles dan Plotinus”.
Dalam hubungan ini perlu pula disebutkan penilaian Miquel Acin Palacios. Setelah menterjemahkan beberapa bagian dari buku-buku “Tahafut-ul-Falasifah”, “Fasl-ul maqal” dan “Manahij-ul-Adil-lah” ke dalam bahasa Spanyol, kemudian diperbandingkannya secara teliti dengan kata-kata Thomas Aquinas, maka ia berkesimpulan bahwa Renan telah berlebih-lebihan, ketika ia mengira bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang rasionalis murni. Kenyataan yang jelas adalah bahwa Ibnu Rusyd adalah lawan yang gigih terhadap pemikiran yang bebas, dan bahwa pikirannya dalam usaha-usahanya untuk mempertemukan filsafat dengan agama mirip dengan pikiran Thomas Aquinas, karena Ibnu Rusyd bermaksud menetapkan bahwa akal-pikiran filsafat atau pembahasan tentang hakekat sesuatu dengan dalil-dalil pikiran tidak lain adalah hasil pikiran akan banyak menuntut kepada kebenaran, akan tetapi tidak menuntut kepada keseluruhan kebenaran. Oleh karena itu diperlukanlah wahyu Ketuhanan. Pertama-tama, agar wahyu dapat mengilham-kan semua orang, sampaipun filosof-filosof, kepada sebagian kebenaran-kebenaran metaphysika dimana akal pikiran dapat mencapai wujudnya, tetapi bukan pengertian.
Oleh karena sumber akal dan wahyu adalah satu, maka kedua-nya tidak mungkin berlawanan, bahkan harus saling membantu. Hanya saja karena wahyu melebihi akal, maka dalam keadaan perlawanan yang nyata, yang kedua (akal) harus tunduk kepada agama.
Akhirnya Miquel Acin Palacios mengatakan bahwa ke-ikhlas-an Ibnu Rusyd terhadap agama harus tidak diragukan lagi, dan dalam serangan-serangannya yang dilancarkan terhadap golongan mutakallimin tidak melebihi batas jalan (sunnah) yang bersih.
Kalau suara Ibnu Rusyd sepeninggalnya menjadi sayup-sayup di dunia Timur untuk menjadi waktu yang cukup lama, maka sebenarnya untuk dunia pikir barat ia mempunyai pengaruh yang dalam sejak abad keduabelas  Masehi sampai waktu yang belum berlaku, karena karangan-karangannya yang mengenai kedokteran dan filsafat benyak beredar di negeri tersebut, dan membangkitkan kebebasan berpikir. Maka sebagai reaksinya, gereja menentang pendapat-pendapat Ibnu Rusyd, terutama mengenai qadim-nya alam, kesatuan akal manusia, dan musnahnya akal pribadi. Namun Thomas Aquinas sendiri yang banyak mengkritik Ibnu Rusyd, telah banyak mengikuti sistem pembahasannya dan mengambil teori-teorinya.
Tidak mengherankan kiranya kalau Luigi Renaldi mengatakan sebagai berikut: “Di antara jasa ummat Arab (Ummat-Islam) terhadap kami adalah bahwa mereka telah banyak memperkenalkan filosof-filosof Yunani kepada kami, dan mereka mempunyai sumbangan yang besar bagi kebangunan filsafat di kalangan orang-orang Masehi. Ibnu Rusyd adalah juru bahasa dan pengulas terbesar bagi teori-teori Aristoteles. Oleh karena itu ia mempunyai kedudukan yang tinggi dikalangan kaum muslimin maupun orang Masehi... Jangan pula kita lupakan bahwa Ibnu Rusyd adalah pencipta aliran “pikiran-bebas”. Ia pula yang merindukan filsafat, gandrung kepada ilmu, memuja keduanya, dan mengajarkannya kepada murid-muridnya dengan kemesraan dan kegairahan yang kuat. Ia pula yang mengeluarkan kata-katanya yang terkenal, ketika hendak meninggalnya: “Akan mati roh-ku karena matinya filosof.”







BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan:
Pemikiran Teologi Ibnu Rusyd berkisar antara:
1.      Peranan Akal
Ibnu Rusyd merupakan seorang filosof Islam yang mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal.
2.      Pengetahuan Tuhan (Terhadap hal-hal yang keil)
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil-kecil (juz’iyat), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna. Dan ini tidak wajar. Maka itu, sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri.
3.      Keazalian Alam
Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa alam ini azali tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali yaitu, Tuhan & alam ini.
4.      Gerakan Yang Azali
Suatu akibat karena setiap gerakan senantiasa mempunyai sebab yang mendahuluinya. Kalau kita cari sebab itu, maka tidak akan kita temui semua penggeraknya pula. Begitulah seterusnya tidak berhenti.
5.      Akal Yang Universal
Akal itu adalah suatu yang universal. Maksudnya bukan saja “akal yang aktif” adalah esa & universal, tetapi juga “akal kemungkinan” yakni akal reseptif adalah esa & universal sama dan satu bagi semua orang.
6.      Keutusan Rasul & Mu’jizat

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Hanafi, M.A. “Pengantar Filsafat Islam” Bulan Bintang. Jakarta. 1967
DRS. H. ABU AHMADI “Filsafat Islam” CV. Toha Putra. Semarang. 1983
DRS. SUDARSONO.SH. “Filsafat Islam” PT. Rieneka Cipta, Jakarta. 1996

2 komentar:

  1. artikelnya bagus, ana sangat mendapatkan manfaat dari artikel antum. terima kasih ya..

    BalasHapus