Ibnu Rusyd terkenal sebagai pengulas
Aristoteles (comentator) suatu gelar yang diberikan oleh Dante. Gelar ini
memang tepat untuknya, karena fikiran-fikiran mencerminkan usahanya yang keras
untuk mengembalikan kepada kemurniannya yang semula.
Ibnu Rusyd memandang
Aristoteles sebagai manusia sempurna dan ahli fikir terbesar yang telah
mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur dengan kesalahan.
Ibnu Rusyd selama hidupnya
berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles apabila difahami sebaik-baiknya, maka
tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh
manusia, bahkan perkembangan kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi
pada diri Aristoteles sehingga tidak ada orang yang melebihinya.
Pemikiran Teologi Ibnu Rusyd
meliputi Wujud Tuhan, sifat-sifatnya, dan hubungan Tuhan dengan alam. Tentang
ketuhanan dibicarakan Ibnu Rusyd dalam bukunya “Tahafut-ut-Tahafut” &
Manahijul Adilah. Dalam buku fashlul-maqal, Ibnu Rusyd membagi syari’at menjadi
2 bagian, yaitu arti lahir & arti yang ditakwilkan.
Setelah Ibnu Rusyd meneliti
berbagai golongan yang timbul dalam Islam, maka menurut pendapatnya yang paling
terkenal ada 4, yaitu Asy’ariyah, Mu’tazilah, Batiniyah, & Hasyulah.
Masing-masing golongan mempunyai kepercayaan yang berlainan tentang Tuhan, dan banyak
memindahkan kata-kata Syara’ dari arti lahirnya kepada takwilan-takwilan yang
disesuaikan dengan kepercayaannya. Kemudian mereka mengira bahwa kepercayaannya
itulah yang merupakan syari’at yang harus di anut oleh semua orang dan barang
siapa yang menyimpang dari padanya berarti kafir atau telah menjadi bid’ah.
Pada garis besarnya Ibnu Rusyd
berusaha mengeluarkan fikiran-fikirannya yang sebenarnya dari kata-kata
Aristoteles & ulasan-ulasannya. Ia juga berusaha menjelaskan
fikiran-fikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam lapangan
Ketuhanan, dimana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji berbagai persoalan dan
dalam mempertemukan antara agama dengan filsafatnya nampak jelas kepada kita.
BAB II
PEMBAHASAN
IBNU
RUSYD
A. Riwayat Hidup dan
Karyanya.
Ibnu Rusy adalah
seorang filosof Islam yang cukup masyhur. Ia adalah Abdul Walid Muhammad bin
Ahmad ibn Rusyd, kelahiran Cordova pada tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan
keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di
Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan neneknya yang terkenal
dengan sebutan “Ibnu Rusyd Nenek” (al-Jadd) adalah kepala hakim di Cordova.
Pada usia 18 tahun
Ibnu Rusyd berpergian ke Maroko, dimana ia belajar kepada Ibnu Thufail. Ada dalam
ilmu Tauhid beliau berpegang kepada paham Asy’ariyah dan ini membukakan jalan
baginya untuk mempelajari ilmu filsafat. Pendek kata Ibnu Rusyd adalah tokoh
filsafat, agama, syari’at dan kedokteran yang terkenal pada waktu itu. Beliau
wafat di Maroko pada tahun 1198.
Pada mulanya Ibnu
Rusyd mendapat kedudukan yang baik dari Khalifah Abu Yusuf Al-Mansur (masa
kekuasaannya 1148-1194 M) sehingga pada waktu itu Ibnu Rusyd menjadi raja semua
pikiran, tidak ada pendapat kecuali pendapatnya, dan tidak ada kata-kata
kecuali kata-katanya. Akan tetapi, keadaan tersebut segera berubah karena ia
dipersona-nongratkan oleh Al-Mansur dan dikurung di suatu kampung Yahudi
bersama Alisanah sebagai akibat fitnahan dan tuduhan telah keluar dari Islam
yang dilancarkan oleh golongan penentang filsafat, yaitu para fuqaha masanya.
Setelah beberapa
orang terkemuka dapat meyakinkan Al-Mansur tentang kebersihan dari Ibnu Rusyd
dari fitnahan dan tuduhan tersebut. Akan tetapi, tidak lama kemudian fitnahan
dan tuduhan dilemparkan lagi pada dirinya, dan termakan pula. Sebagai
akibatnya, kali ini ia diasingkan ke negeri Maghribi (Maroko), buku-buku
karangannya dibakar dan ilmu filsafat tidak boleh lagi dipelajari. Sejak itu
murid-muridnya bubar dan tidak berani lagi menyebut-nyebutnya.
Karyanya terdiri
dari 28 buku mengenai filsafat, 5 buku mengenai agama, 8 buku mengenai hukum
Islam dan 10 buku mengenai kedokteran. Dalam filsafat cara berpikir Ibnu Sina
disempurnakan oleh Ibnu Rusyd, sehingga pengaruhnya dalam filsafat Eropa lebih
besar dari pengaruh Ibnu Sina sendiri.
Di dunia Islam
sendiri Ibnu Rusyd terkenal sebagai seorang filsuf yang menentang Al-Ghazali.
Bukunya yang khusus menentang filsafat Al-Ghazali, Tahafutul-tahafut, adalah
reaksi atas buku Al-Ghazali, Tahafut-Fatasifah. Dalam bukunya itu Ibnu Rusyd
membela kembali pendapat ahli filsafat Yuanani dan Islam yang telah diserang
habis-habisan oleh Al-Ghazali. Dan seperti Al-Farabi dia juga mengemukakan
prinsip hukum kausal dari Aristoteles.
Di dunia Islam
filsafat Ibnu Rusyd tidak terpengaruh besar. Oleh sebab itu namanya tidak
seharum nama Al-Ghozali. Malah, karena isi filsafatnya yang dianggap sangat
bertentangan dengan pelajaran agama Islam yang umum, Ibnu Rusyd dianggap orang
zindik. Karena pendapatnya itu juga dia pernah dibuang oelah Kfalifah Abu Yusuf
(pengganti Abu Ya’kub), diasingkan ke Lucena (Alisana).
Karangannya
meliputi berbagai-bagai ilmu, seperti: fiqh, usul, bahasa, kedokteran,
astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar
yang ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau
ulasan, atau keringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap
Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau ia memberikan perhatiannya yang
besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku lain
yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisis,
Platinus, Galinus, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Bajjah.
Buku-bukunya yang
lebih penting dan sampai kepada kita ada empat yaitu:
1. Bidyatul-Mujtahid,
ilmu fiqh. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhabi
(aliran-aliran) dalam fiqh dengan menyebutkan alasan masing-masing.
2. Faslul-Maqal fi ma
baina al-Hikmati was; Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam). Buku ini
dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian anatara filsafat dan syari’at,
dan juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1895 M oleh
Muller, pada tahun 1895.
3. Tahfut at-Tahafut,
suatu buku yang terkenal dalam lapngan filsafat dan ilmu kalam, dan dimasukkan
untuk membela filsafat dari serangan Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah. Buku Tahafut at-Tahafut berkali-kali diterjemahkan ke dalam
bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh van den Berg
terbit pada tahun 1952 M.
B. Pemikiran Teologi
Ibnu Rusyd
1. Peranan Akal Dalam
Filsafat
Ibnu Rusyd
merupakan seorang filosof Islam yang mementingkan akal daripada perasaan.
Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam
hal ini termasuk ayat-ayat yang erat kaitannya dengan akal.
Didalam kitabnya,
Fashul Maqal... , Ibnu Rusyd menandaskan bahwa logika harus dipakai sebagai
dasar segala penilaian tentang kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus
belajar memikirkannya secara logika. Akan tetapi, disamping mementingkan logika
sendiri dalam memecahkan masalah yang gaib dan aneh yang berhubungan dengan
agama.
Mengenai tujuan
agama sendiri Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pokok tujuan syari’at Islam yang
sebenarnya ialah pengetahuan yang benar dan amal perbuatan yang benar
(al-ilmulhaq wal-amalul-haq).
Mengenai pengetahuan,
menurut Ibnu Rusyd maksudnya untuk mengetahui dan mengerti adanya Allah Ta’ala
serta segala alam maujudat ini pada hakikatnya yang sebenarnya apa maksud
syari’at itu, dan apa pula yang dikehendaki dengan pengertian kebahagiaan di
akhirat (surga) dan kecelakaan akhirat (neraka).
Maksud amal yang
sebenarnya ialah mengajak dan menjauhkan pekerjaan-pekerjaan yang akan
mengakibatkan penderitaan. Mengetahui tentang amal perbuatan seperti inilah
yang dinamakan ilmu yang praktis (al-ilmul-amaliah)
2. Problem Filsafat
Ibnu Rusyd
Didalam filsafat Ibnu Rusyd
terdapat lima problem yang sangat mendasar, yaitu : pengetahuan Tuhan terhadap
soal-soal juziyat; terjadinya alam maujudat dan perbuatannya; keazalian dan
keabadian alam; gerak dan keadzaliannya; serta akal yang universal dan satu.
a. Pengetahuan Tuhan
Di dalam
filsafat Ibnu Rusyd terdapat pertanyaan: Apakah Tuhan mengetahui segala rincian
juziyat? Menjawab soal ini Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat Aristoteles yang
sangat disetujui. Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui soal
juziyat. Halnya sama seperti seorang
kepala negara yang tidak mengetahui soal-soal kecil di daerahnya.
Pendapat
Aristoteles itu didasarkan atas semua sesuatu argumen sebagai berikut: yang
menggerakkan itu, yakni Tuhan al-Mukharrik, merupakan akal yang murni bahkan
merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan dari akal
yang tinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tinggi pula agar ada
persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula
tidak mungkin Tuhan mengetahui selain zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat
lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu
yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau
Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil-kecil (jurziyat), maka itu berarti bahwa
pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna. Dan ini
tidak wajar. Maka itu, sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain
zat-Nya sendiri.
Aristoteles
menggambarkan sebagai kehidupan yang badai, sempurna dari segala segi, dan
sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri itu.
Argumen
Aristoteles oleh Ibnu Sina disetujui, tetapi dibantah keras oleh Al-Ghazali.
Sekarang datang Ibnu Rusyd yang membela pendapat Aristoteles dan Ibnu Sina ini
dan menentang serangan-serangan Al-Ghazali terhadap kaum filsafat itu. Dalam pembelaannya
itu Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mereka yang mendakwa ahli filsafat yang
memungkiri pengetahuan terhadap juziyat itu disebabkan karena mereka tidak
dapat mengetahui maksud ahli-ahli filsafat. Padahal, maksud ahli-ahli filsafat
itu ialah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan
yang dicapai oleh orang-orang biasa.
Di sini
kelihatan sekali bagaimana Ibnu Rusyd berusaha memprtahankan pendirian
ahli-ahli filsafat dengan segala cara dan kecakapannya. Sebagai penganut aliran
Aristoteles dia mencari jalan agar jangan begitu saja meninggalkan pendapat
Aristoteles disamping dia tetap pula tidak ingin meninggalkan prinsip-prinsip
agama.
Di sini
terlihat perbedaan besar antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Al-Ghazali bermaksud
mempertahankan kemurnian agama, sedangkan Ibnu Rusyd bermaksud mengadakan
kompromi antara filsafat dan agama yang sepintas saling berlawanan satu sama
lain.
b. Amal Perbuatan
Dalam
masalah amal perbuatan timbul masalah mendasar yaitu: Bagaimanakah terjadinya
alam manjudat ini dan amal perbuatannya?
Bagi
golongan agama jawabannya sudah jelas. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah
ciptaan Tuhan. Semua benda atau peristiwa, baik besar atau pun kecil, Tuhanlah
yang menciptakannya dan memeliharanya (rabbil-alamin), setiap saat tak pernah
lupa dan tak pernah lalai. Sebaliknya bagi golongan filsafat menjawab persoalan
itu harus ditinjau dengan akal pikiran. Di antara mereka ada yang menyimpulkan
bahwa materi itu azali, tanpa permulaan terjadinya. Dan perubahan materi itu menjadi
benda-benda lain yang beraneka macam terdapat di dalam kekuatan yang ada di
dalam maksud itu sendiri secara otomatis. Artinya tidak langsung dari Tuhan.
Diantara
ahli filsafat itu juga ada yang berpendapat bahwa materi itu abadi (kekal). Ia
terdiri atas bermacam-macam jauhar. Tiap-tiap jauhar mengadakan jauhar yang
baru. Materi itu terjadinya bukan dari tidak ada (adam), melainkan dari keadaan
yang potensial (bil-quwwah).
Ahli
filsafat lain mengatakan bahwa disamping materi itu azali, juga Tuhan tidak ada
hubungan dengan materi itu.
Aristoteles
sendiri berpendapat bahwa jauhar (substansi) pertama dari materi itu
menyebabkan adanya jauhar yang kedua tanpa berhajat bantuan zat lain di luar
dirinya. Ini berarti bahwa sebab dan akibat penciptaan dan amal materi itu
seterusnya terletak pada diri itu sendiri.
Ibnu Rusyd
dapat menerima pendapat Aristoteles ini dengan menjelaskan pula argumennya
sebagai berikut : Seandainya Tuhan itu menjadikan segala sesuatu dan peristiwa
yang ada ini, maka akibatnya ide tentang sebab dan akibat itu tidak akan ada
artinya lain. Padahal, seperti yang kita lihat sehari-hari, apa pun yang
terjadi dalam masa ini senantiasa diliputi oleh hukum sebab dan akibat
(musabab). Misalnya api yang menyebabkan terbakar, dan air yang menyebabkan basah.
c. Keazalian Alam
Dalam
masalah ini timbul pertanyaan : Apakah alam ini ada permulaan terjadinya atau
tidak?
Dalam hal
ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa alam ini azali tanpa permulaan. Dengan
demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan
alam ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd keazalian Tuhan itu berbeda dengan
keazalian alam, sebab keazalian Tuhan lebih utama dari keazalian alam. Untuk
membela pendapat ia mengeluarkan argumen sebagai berikut : Seandainya alam ini
tidak azali, ada permulaannya maka ia hadits (baru), mesti ada yang
menjadikannya, dan yang menjadikannya itu harus ada pula yang menjadikannya
lagi. Demikianlah berturut-turut tak habis-habisnya. Padahal keadaan berantai
demikian (tasalsul) dengan tiada berkeputusan itu akan merupakan hal yang tidak
dapat diterima akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadits.
Oleh
karena di antara Tuhan dengan alam ini ada hubungan meskipun tidak sampai pada
soal-soal rincian, padahal Tuhan azali dan Tuhan yang azali itu akan
berhubungan kecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali
meskipun keazaliannya kurang utama daripada keazalian Tuhan.
d. Gerakan yang Azali
Gerakan
adalah suatu akibat karena setiap gerakan senantiasa mempunyai sebab yang
mendahuluinya. Kalau kita cari sebab itu, maka tidak akan kita temui sebab penggeraknya
pula. Begitulah seterusnya, tidak mungkin berhenti. Oleh sebab itu, kewajiban kita
menganggap bahwa sebab yang paling terdahulu atau sebab yang pertama adalah
sesuatu yang bergerak. Gerakan itu dianggap tiada berwal dan tiada berakhir,
azali dan abad, dan sebab pertama (prima causa) atau penggerak pertama itulah
yang disebut Tuhan.
Selanjutnya
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa meskipun Tuhan adalah sebab penggerak yang pertama,
Dia hanyalah menciptakan gerakan pada akal yang pertama saja, sedangkan
gerakan-gerakannya selanjutnya (peristiwa-peristiwa di dunia ini) disebabkan
oleh akal-akal selanjutnya. Dengan demikian, menurut Ibnu Rusyd, tidak dapat
dikatakan adanya pimpinan langsung dari Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa di
dunia.
e. Akal yang
Universal
Menurut
Ibnu Rusyd akal itu (seperti yang dimaksudkan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina)
adalah suatu satu universal. Maksudnya bukan saja “akal yang aktif” (active
intellect, al-aqual fa’al) adalah Esa dan universal, tetapi juga “akal
kemungkinan”, yakni akal reseptif (al-aqlu bil-quwwah), adalah Esa dan
universal, sama dan satu bagi semua orang.
Hal ini
berarti bahwa segala akal dianggap sebagai monopsikisme. Menurut Ibnu Rusyd
“akal kemungkinan” barulah merupakan individu tertentu (diindiridualkan) atau
ditakhsiskan tatkala dia berhubungan dengan suatu bentuk materi atau tubuh
orang perseorangan. Dan ini berarti bahwa bila seseorang meninggal dunia maka
akal kemungkinan (akal reseptif) itu pun sudah tidak ada lagi. Dengan kata lain,
akal kepunyaan orang perseorangan tidak mempunyai keabadian, tetapi yang kekal
dan abadi itu ialah akal universal, yakni asal sumber dan tempat kembalinya
akal kemungkinan manusia individual.
Perlu kita
jelaskan bahwa pengakuan Ibnu Rusyd tentang akal yang bersatu, sebab akal
adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal
itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksudkan dengan monopsikisme (bahan yang
menjadikan segala jiwa). Maksud Ibnu Rusyd, roh universal itu adalah satu dan
abadi (kekal).
3. Tinjauan
Metafisika Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd telah membahas
tentang wujud Tuhan, sifat-sifatnya dan hubungan Tuhan dengan alam. Ketiga hal
tersebut menjadi pokok pembahasan metafisika Ibnu Rusyd. Di samping itu Ibnu
Rusyd meneliti berbagai golongan Islam dalam mencari Tuhan. Golongan tersebut
terdiri dari Asy’ariyah, Mutazilah, Batiniah, dan Hasywiah : masing-masing
golongan tersebut memiliki pandangan tersendiri tentang Tuhan. Disamping itu
Ibnu Rusyd juga meninjau pemikiran Ibnu Rusyd.
Tentang Ghazali, maka menurut
Ibnu Rusyd, ia telah mengisi bukunya Tahafut al-Falasifah dengan
pikiran-pikiran sofistis, dan kata-katanya tidak sampai kepada tingkat keyakinan
serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya terhadap filsafat itu sendiri.
Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filosof-filosof dengan cara
demikian, tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari satu dan dua hal.
Pertama, ia sebenarnya memahami pikiran-pikiran tersebut, tetapi tidak
disebutkan di sini secara benar-benar dan ini adalah perbuatan orang-orang
buruk. Kedua, ia memang tidak memahami benar-benar, dan dengan demikian maka ia
membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan
orang-orang yang bodoh.
Menurut Ibnu Rusyd, kedua
kemungkinan tersebut sebenarnya tidak terdapat pada Al-Ghazali. Akan tetapi
“kedua balap kadang-kadang terantuk”, demikan kata pepatah. Dan bagi
Al-Ghazali, terantuknya itu ialah karena ia menuliskan buku Tahafutnya
tersebut. Boleh jadi penulisannya itu dilakukan karena melayani selera masa dan
lingkungannya.
Golongan Asy’ariyah mengatakan
bahwa kepercayaan tentang wujud Tuhan tidak lain adalah melalui akal. Menurut
Ibnu Rusyd, untuk ini mereka tidak menempuh jalan yang ditunjukkan oleh syara
karena berdasarkan baharunya alam atas tersusunnya dari bagian-bagian yang
tidak terbagi-bagi itu adalah baru. Kalau kita memperhatikan alam ini baru,
maka ia mesti ada pembuatnya yang baru, dan pembuat ini membutuhkan kepada
pembuat yang lain, dan begitu seterusnya samapai tidak berkesudahan. Kalau kita
memperhatikan alam ini qadim (azali), maka pembuat yang berhubungan dengan perkara-perkara
yang dibuatnya adalah qadim pula, dan dengan demikian maka perkara-perkara yang
dibuatnya tersebut adalah qadim juga.
Golongan mutakllimin
Asy’ariyah mengatakan bahwa perbuatan yang baru adalah karena iradah (kehendak)
yang qadim. Maka Ibnu Rusyd menjawab bahwa perkataan tersebut tidak dapat
diterima, karena iradah itu bukan perbuatan yang berhubungan dengan perkara
yang dibuat. Jika perkara yang tersebut baru, karena perbuatan itu dari zat
yang membuat, lain dari perkara yang dibuat, dan lain pula dari iradah. Lagi
pula iradah tersebut menjadi syarat adanya perbuatan, bukan perbuatan itu
sendiri.
Dengan demikian, maka jalan
yang ditempuh oleh golongan Asy’ariyah tentang barunya alam tidak dapat
dipahami orang-orang awam, tetapi juga tidak memuaskan bagi golongan filosof,
karena jalan tersebut bersifat jadali bukan burhani. Atau dengan kata lain,
jalan tersebut tidak teoritis burhani, bukan pula jalan dari syara yang
meyakinkan. Jalan-jalan dari syara apabila diteliti, maka mengandung dua syarat,
yaitu meyakinkan dan bersahaja tidak tersusun, yakni tidak banyak dasr-dasar
pikirannya yang dengan sendirinya juga kesimpulannya bersahaja pula.
Mengenai golongan Mutazilah,
maka Ibnu Rusyd, sebagaimana yang diakuinya sendiri, tidak mengetahui metode-metodenya,
karena kitab-kitab dari golongan-golongan itu yang sampai di Mutazilah tidak
ada. Tampaknya metode mereka tidak berbeda dengan metode Asy’ariyah.
Golongan Hasywiah berpendirian
bahwa jalan mengetahui Tuhan ialah sama’ (pendengaran, riwayat), bukan akal
(pikiran). Iman bagi mereka ialah mendengarkan apa yang dikatakan syara’ tanpa
mengusahakan syara’. Mereka jelas tidak memenuhi syara’ yang mengajak untuk
mempercayai wujud Tuhan melalui dalil-dalil.
Mengenai golongan tasauf, maka
menurut Ibnu Rusyd cara penelitian mereka bukan bersifat pikiran, yakni yang
terdiri dari dasar-dasar pikiran atau premisse-premisse dan kesimpulan, karena
mereka mengira bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud lain diterima
oleh jiwa ketika sudah terlepas dari hambatan-hambatan kebendaan dan ketika
pikirannya tertentu kepada perkara yang dicarinya. Cara tersebut menurut Ibnu
Rusyd bukanlah cara kebanyakan orang, yakni sebagai makhluk yang mempunyai
pikiran dan diserukan memakai pikirannya. Selain itu, jalan tersebut menyalahi
syara’ yang menyerukan pemakaian pikiran.
Mengenai adanya Tuhan, Ibn
Rushdi mengemukakan bahwa ada dua cara untuk membuktikanhnya, yaitu: Kedua cara
ini dimulai dari manusia dan tidak dari alam, karena manusia itu yang
berpikiran. Dengan penelitian dan penyingkapan rahasia-rahasia alam oleh akal, maka
dalil al-inayah (Qur’an) memperkuat adanya Tuhan.
Segala makhluk dijadikan untuk
dipergunakan oleh manusia bintang yang bersinar malam hari untuk menjadi
petunjuk jalan. Susunan tubuh sesuatu, pantas untuk hidup dan wujud sesuatu
itu. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd barangsiapa yang hendak mengetahui Tuhan
yang sebenarnya haruslah mengadakan teori tentang benda-benda wujud. Seterusnya
benda wujud dijadikan dan segala benda yang dijadikan berkehendak kepada yang
menjadikan.
Pembahasan filsafat Ibnu Rusyd
sangat banyak dan luas sekali. Kebenaran pembahasan filsafatnya tadi dapat
dilihat dalam beberapa cabang filsafat yang telah menjadi pemikirannya. Karena
itulah pemikirannya banyak dikenal dan dikagumi baik di luar maupun sesama
filosof Islam.
4. Keutusan
Rasul-rasul dan mu’jizat
Persoalan kenabian dan
keutusan Rasul-rasul merupakan soal yang penting dalam agama, sebagaimana yang
sudah dibicarakan pada waktu membicarakan filsafat Al-Farabi mengenai kenabian.
Oleh kernanya, ulama-ulama kalam sendiri banyak membicarakan soal keutusan
rasul-rasul.
Ulama kalam memakai cara
peng-qiyas-an, di mana mereka mengatakan bahwa oleh karena Tuhan berbicara dan
mempunyai iradah (kehendak), dan oleh karena bagi orang yang berbicara dan
ber-iradah itu bisa mengutus seseorang utusan kepada hamba-hambanya, maka bagi
Tuhan juga bisa mengutus utusan-Nya. Akan tetapi oleh karena pengqiyas-an
tersebut hanya bisa membawa kesimpulan yang bersifat kemungkinan saja, maka
tidak bisa disebut qiyas-burhani, atau qiyas yang meyakinkan. Kelemahan ini
didasari oleh golongan Asy’ariyah dan untuk itu mereka hendak memperkuat
peng-qiyasan tersebut dengan mengatakan bahwa orang yang mengaku utusan Tuhan
haruslah membawa tanda yang menunjukkan benar-benar bahwa ia diutus dari Tuhan
untuk hamba-hamba-Nya, dan tanda ini disebut “Mu’jizat”.
Meurut Ibnu Rusyd cara
pembuktian demikian itu hanya bersifat memuaskan hati, tetapi tidak meyakinkan,
dan sesuai untuk kebanyakan orang apabila diteliti lebih lanjut, maka akan
nampak kelemahan-kelemahan pembuktian tersebut. Yaitu, dari mana kita
mengetahui bahwa mu’jizat yang nampak pada seseorang yang mengaku nabi itu
adalah tanda dari Tuhan yang menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar rasul-Nya.
Keadaan ini tidak bisa ditetapkan oleh syara’, kerana syara’ belum lagi dapat
ditetapkan, sebab menunggu penetapan kerasulannya itu. Akal-pikiran-pun tidak
bisa menetapkan bahwa tanda tersebut adalah khusus untuk rasul-rasul, kecuali
kalau memang tanda tersebut telah diketahui wujudnya berkali-kali dari
orang-orang lain. Dan persoalannya di sini ialah menetapkan keutusan pertama
bagi manusia dari Tuhan.
Jadi Ibnu Rusyd tidak merasa
puas dengan pembuktian ulama kalam tentang keutusan pada umumnya dan keutusan
Nabi Muhammad SAW pada khususnya, karena mengandung kelemahan-kelemahan. Di
sinilah letak daya kreasi Ibnu Rusyd. Ia mengatakan, bahwa Nabi Muhammad SAW
tidak mengaku dirinya sebagai nabi dengan mengemukakan hal-hal yang menyimpang
dari hukum alam (mu’jizat-mu’jizat) sebagai tantangan terhadap lawan-lawannya,
seperti mengganti tongkat menjadi ular, membelah lautan da sebagainya. Sebagai
bukti, ketika orang-orang Quraisy dan lawan-lawan Nabi Muhammad SAW meminta
tanda kebenaran kerasulannya, dengan memancarkan sumber air mereka atau
menjatuhklan langit atas mereka, atau naik ke langit untuk mengambil kitab yang
bisa mereka baca (baca: Al-Isra’ 92-93), maka Tuhan menyuruhnya untuk menjawab
dengan kata-kata sebagai berikut: “Maha suci Tuhan-ku, aku ini tidak lain
adalah manusia yang menjadi rasul” (al-Isra’ 93). Seolah-olah Nabi Muhammad
SAW hendak mengatakan bahwa hal-hal yang menyimpang dari hukum alam itu adalah
urusan Tuhan semata-mata, sedangkan aku ini manusia yang tidak mempunyai kekuasaan
untuk itu, dan aku ini hanyalah semata-mata utusan Tuhan.
Akan tetapi kalau kita tidak
mengemukakan sesuatu bukti atau mu’jizat lahiriah tentang kebenaran
kerasulannya, maka bukti kerasulannya itu adalah A-Qur’an semata-mata yang
benar-benar menjadi bahan tantangan terhadap orang banyak. Tetapi, bagaimana
kita dapat mengetahui bahwa Al-Qur’an itu benar-benar mu’jizat dan benar-benar
bukti kerasulan Nabi Muhammad SAW sedangkan Ibnu Rusyd sendiri sudah
menunjukkan kelemahan cara pembuktian ulama kalam atas adanya kerasulan dengan
mu’jizat-mu’jizat, terutama kerasulan dari Tuhan yang pertama kali.
Menurut Ibnu Rusyd, apabila
kita membaca Al-Qur’an dan memahaminya benar-benar maka akan nampak kepada kita
segi penunjukannya kepada sifat kenabian, karena membaca Al-Qur’an berisi
pengetahuan-pengetahuan gaib yang tidak dikenal oleh Nabi Muhammad SAW sebelum
menerima wahyu , dan susunan serta gaya-bahasanya tidak sama dengan perbuatan
orang Arab seluruhnya.
Mu’jizat yang bisa menunjukkan
dengan pasti atas kenabian seseorang nabi haruslah mu’jizat yang sesuai dengan
segi ke-rasulan-nya, yaitu yang berisi petunjuk kepada orang banyak dengan
syarat yang dibawanya itu, seperti halnya dengan menyembuhkan penyakit itu
menunjukkan adanya sifat kedokteran bagi seseorang yang mengakui dirinya dokter.
Dari segi ini, maka Al-Qur’an
merupakan mu’jizat yang terbesar, karena syari’at yang dimuatnya, berupa
kepercayaan dan amalan yang tidak mungkin bisa dicari dan dipelajari melainkan
dengan wahyu. Syari’at tersebut yang bertujuan menciptakan kebahagiaan manusia
dan yang baru diperoleh sesudah mengetahui Tuhan dan berhubungan dengan-Nya,
serta mengetahui arti bahagia dan kesengsaraan, kesemuanya ini termasuk
pengetahuan yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan wahyu, atau kalau
diperoleh melalui wahyu akan lebih utama.
Oleh karena perkara tersebut
terdapat dalam Al-Qur’an menurut cara yang paling sempurna, maka dapatlah
dipastikan bahwa Al-Qur’an tersebut adalah wahyu dari Tuhan dan merupakan firman
Tuhan yang disampaikan melalui mulut Nabi Muhammad SAW. Keadaan ini diingatkan
pula oleh Tuhan dengan firman-Nya dalam surah al-Isra’ 88 sebagai berikut:
“Katakan olehmu ya Muhammad, kalau
sekiranya manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan seperti Qur’an maka
mereka tidak bisa mendatangkannya, meskipun sebagiannya membantu sebagiannya
yang lain”.
Jika sudah dapat dibuktikan
bahwa Al-Qur’an merupakan mu’jizat dari segi susunan dan gaya bahasanya, dari
segi persesuaiannya yang tinggi dengan kerasulan seseorang rasul dari Tuhan,
untuk mengajarkan syari’at-syari’at yang diperlukan kepada mahluk untuk
kebahgiaan mereka, maka sudah sepantasnya dan logis sekali kalau orang yang
membawanya itu adalah seorang rasul, yakni Nabi Muhammad SAW, terutama kalau
diingat bahwa ia dibesarkan sebagai ummi (buta huruf) dalam suatu umat yang
ummi pula. Juga sebelum itu, ia tidak pernah mempelajari ilmu pengetahuan atau
berusaha memahami alam semesta seperti yang kita kenal dari orang-orang Yunani.
Untuk itu Tuhan mengatakan sebagai berikut:
“Tidaklah kamu membaca kitab sebelumnya,
dan tidaklah kamu menulis dengan tangan-kananmu. Jika demikian maka
ragu-ragulah orang yang hendak merobohkan Qur’an”. (Al-Ankabut 48)
Disamping itu, adanya
segolongan orang yang dilpilih oleh Tuhan untuk menjadi rasul-rasul bagi makhluk-Nya
sudah jelas sekali, dan sudah disepakati oleh filosof-filosof dan keseluruhan
manusia, kecuali golongan Dahriyyah (materialist) yang tidak perlu dipegangi
kata-katanya. Keadaan ini juga sudah diingatkan oleh Al-Qur’an dalam surat
An-Nisa’ 163-164. ”Kami telah mewahyukan kepadamu (ya Muhammad), sebagaimana
kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahnya........ Dan
beberapa orang utusan yang telah Kami ceritakan kepadamu sebelumnya dan
utusan-utusan lain yang tidak Kami ceritakan kepadamu”. Ringkasnya, apabila
kita dapat mengetahui adanya rasul-rasul Tuhan untuk makhluk-Nya dan bahwa
mu’kizat tidak bisa terjadi kecuali dari mereka, maka mu’jizat tersebut menjadi
bukti kebenaran kerasulannya.
Akan tetapi haruslah dicatat
bahwa Ibnu Rusyd mengadakan pemisahan antara dua macam mu’jizat. Pertama mu’jizat-luaran
(al-barrani), yaitu yang tidak sesuai dengan sifat yang karenanya seorang nabi
disebut nabi, seperti menyembuhkan penyakit, membelah lautan dan sebagainya.
Kedua mu’jizat yang sesuai (al-munasib) dengan sifat kenabiab tersebut, yaitu
syari’at yang dibawanya untuk kebahagiaan manusia. Menurut Ibnu Rusyd, mu’jizat
macam pertama sebenarnya hanya menjadi tanda penguat saja tentang adanya
kerasulan tersebut, sedangkan tanda kerasulan yang sebenarnya bagi kerasulan
tersebut ialah mu’jizat macam kedua. Mu’jizat macam pertama dikatakan sebagai
jalan keimanan orang awam terhadap kenabian, sedangkan macam kedua adalah jalan
keimanan bagi orang-orang ulama dan orang awam bersama, masing-masing menurut
kesanggupannya sendiri. Tetapi apabila meneliti syari’at, maka mu’jizat macam
kedualah yang menjadi dasar pegangan.
Dengan cara demikian Ibnu
Rusyd bisa mengemukakan corak rasionalisme-nya yang tidak memahami mu’jizat seperti
yang difahami ulama-ulama agama. Meskipun ia tidak tegas-tegas mengingkari
mu’jizat luar tersebut, barangkali untuk menghindari kemarahan orang banyak,
namun ia secara tidak langsung tidak mengakuinya, dengan berlindung kepada
Syari’at juga yang tidak mendasarkan kebenarannya kepada semacam mu’jizat
tersebut.
Ketika ia menangkis serangan
Al-Ghazali yang menuduh filosof-filosof tidak mau mengakui jatuhnya Nabi
Ibrahim dalam api dengan tidak terbakar dan tetapnya api sebagai api, maka Ibnu
Rusyd dalam “Tahafut-ut Tahafut” mengatakan bahwa pengingkaran terhadap
mu’jizat tersebut hanya dikeluarkan oleh orang-orang Islam zindiq (kafir).
Tetapi filosof-filosof sendiri tidak mau membicarakan dan berdebat mengenai
dasar-dasar syari’at. Katanya: “Oleh karena itu, tidak ada seorangpun dari
filosof-filosof yang membicarakan soal mu’jizat di dunia, karena
mu’jizat-mu’jizat adalah prinsip-prinsip bagi penetapan syari’at, sedang
syari’at adalah dasar-dasar keutamaan. Maka apabila seseorang dibesarkan atas
keutamaan-keutamaan Syara’ maka ia menjadi orang yang utama sekali. Kalau ia
panjang usia dan mendapatkan kebahagiaan untuk menjadi ulama yang mendalam
ilmunya, kemudian menemukan ta’wil (tafsiran) terhadap salah satu
dasar-dasarnya, maka wajiblah ia untuk tidak mengemukakan ta’wilnya itu”.
Dengan perkataan lain,
mu’jizat adalah jalannya orang-orang awam, sedangkan orang-orang alim mempunyai
pendapatnya sendiri tentang mu’jizat tersebut yang tidak perlu dikemukakan
kepada orang banyak. Begitulah pendapat Ibnu Rusyd tentang keutusan
rasul-rasul. Sebenarnya syari’at mendasarkan penetapan adanya kerasulan dari
Tuhan kepada dua macam mu’jizat, terutama kerasulan Nabi-nabi Musa a.s. dan Isa
a.s, akan tetapi Al-Qur’an memang tidak bisa diragukan lagi merupakan mu’jizat
yang sesuai sekali untuk kerasulan nabi Muhammad SAW.
BAB III
ANALISIS
Ibnu Rusyd adalah tokoh pikir
Islam yang paling kuat dalam pandangannya, paling hebat pembelaannya terhadap
akal dan filsafat, sehingga ia benar-benar menjadi “filosof-pikiran” dikalangan
kaum muslimin.
Pada garis besar filsafatnya,
ia mengakui Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang
sebenarnya dari celah-celah kat-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya. Ia juga
berusaha menjelaskan pikiran tersebut dan melengkapkannya, terutama dalam
lapangan Ketuhanan, dimana kemampuannya yang tinggi dalam mengkaji
berbagai-bagai persoalan dan dalam mempertemukan antara agama dengan filsafat
nampak jelas kepada kita.
Leon Gauthier mengatakan
kepada Ibnu Rusyd sebagai berikut: “Inilah Ibnu Rusyd, seorang rasionalis
dengan sepenuh arti kata. Meskipun demikian ia adalah seorang pemilih
(elektis), luas ufuknya, dan ta’at beragama menurut caranya sendiri, suka
menentukan macam-macam perbuatan ibadah dan kepercayaan-kepercayaan yang sesuai
untuk tiap-tiap lapisan. Bagi orang awam dan kebanyakan orang adalah agama
an-sikh, karena dalam keadaannya yang demikian itu agama merupakan suatu
keharusan bagi pemeliharaan ketertiban masyarakat. Bagi filosof adalah agama-pokiran
dan pembuktian, dimana dengan agama ia dapat memasuki kehidupan akal-faal dan
keazaliannya. Ibnu Rusyd melihat kepada fiqih dengan pandangan yang agressif,
karena fiqih tersebut tidak lagi mencerminkan jalan ibadah, dan lebih dekat
kepada jalan ramai-ramai dan kekacauan. Orang-orang fukaha tidak berhak untuk
dipaksa diam atau menghilang dari pandangan. Ibnu Rusyd melebihi tokoh-tokoh
pikir sebelumnya yang telah meratakan jalan baginya dengan karangan-karangan
(mereka). Oleh karena itu ia lebih luas penelaahannya daripada al-Kindi,
al-Farabi dan Ibnu Bajah, lebih logis dan lebih teliti daripada Ibnu Sina,
dimana Ibnu Rusyd mengkeritik impian-impian
sufi-nya, alasan-alasan pikirannya yang berupa angan-angan dan penenggangannya terhadap
angan-angan orang awam dan ulama fiqih. Ibnu Rusyd telah dapat memberikan
bentuk yang sempurna terhadap filsafat pilihan dari Aristoteles dan Plotinus”.
Dalam hubungan ini perlu pula
disebutkan penilaian Miquel Acin Palacios. Setelah menterjemahkan beberapa
bagian dari buku-buku “Tahafut-ul-Falasifah”, “Fasl-ul maqal” dan
“Manahij-ul-Adil-lah” ke dalam bahasa Spanyol, kemudian diperbandingkannya
secara teliti dengan kata-kata Thomas Aquinas, maka ia berkesimpulan bahwa
Renan telah berlebih-lebihan, ketika ia mengira bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang
rasionalis murni. Kenyataan yang jelas adalah bahwa Ibnu Rusyd adalah lawan
yang gigih terhadap pemikiran yang bebas, dan bahwa pikirannya dalam
usaha-usahanya untuk mempertemukan filsafat dengan agama mirip dengan pikiran
Thomas Aquinas, karena Ibnu Rusyd bermaksud menetapkan bahwa akal-pikiran
filsafat atau pembahasan tentang hakekat sesuatu dengan dalil-dalil pikiran
tidak lain adalah hasil pikiran akan banyak menuntut kepada kebenaran, akan
tetapi tidak menuntut kepada keseluruhan kebenaran. Oleh karena itu
diperlukanlah wahyu Ketuhanan. Pertama-tama, agar wahyu dapat mengilham-kan semua
orang, sampaipun filosof-filosof, kepada sebagian kebenaran-kebenaran
metaphysika dimana akal pikiran dapat mencapai wujudnya, tetapi bukan
pengertian.
Oleh karena sumber akal dan
wahyu adalah satu, maka kedua-nya tidak mungkin berlawanan, bahkan harus saling
membantu. Hanya saja karena wahyu melebihi akal, maka dalam keadaan perlawanan
yang nyata, yang kedua (akal) harus tunduk kepada agama.
Akhirnya Miquel Acin Palacios
mengatakan bahwa ke-ikhlas-an Ibnu Rusyd terhadap agama harus tidak diragukan
lagi, dan dalam serangan-serangannya yang dilancarkan terhadap golongan
mutakallimin tidak melebihi batas jalan (sunnah) yang bersih.
Kalau suara Ibnu Rusyd sepeninggalnya
menjadi sayup-sayup di dunia Timur untuk menjadi waktu yang cukup lama, maka
sebenarnya untuk dunia pikir barat ia mempunyai pengaruh yang dalam sejak abad
keduabelas Masehi sampai waktu yang
belum berlaku, karena karangan-karangannya yang mengenai kedokteran dan
filsafat benyak beredar di negeri tersebut, dan membangkitkan kebebasan
berpikir. Maka sebagai reaksinya, gereja menentang pendapat-pendapat Ibnu
Rusyd, terutama mengenai qadim-nya alam, kesatuan akal manusia, dan musnahnya
akal pribadi. Namun Thomas Aquinas sendiri yang banyak mengkritik Ibnu Rusyd,
telah banyak mengikuti sistem pembahasannya dan mengambil teori-teorinya.
Tidak mengherankan kiranya
kalau Luigi Renaldi mengatakan sebagai berikut: “Di antara jasa ummat Arab
(Ummat-Islam) terhadap kami adalah bahwa mereka telah banyak memperkenalkan filosof-filosof
Yunani kepada kami, dan mereka mempunyai sumbangan yang besar bagi kebangunan
filsafat di kalangan orang-orang Masehi. Ibnu Rusyd adalah juru bahasa dan
pengulas terbesar bagi teori-teori Aristoteles. Oleh karena itu ia mempunyai
kedudukan yang tinggi dikalangan kaum muslimin maupun orang Masehi... Jangan
pula kita lupakan bahwa Ibnu Rusyd adalah pencipta aliran “pikiran-bebas”. Ia
pula yang merindukan filsafat, gandrung kepada ilmu, memuja keduanya, dan
mengajarkannya kepada murid-muridnya dengan kemesraan dan kegairahan yang kuat.
Ia pula yang mengeluarkan kata-katanya yang terkenal, ketika hendak
meninggalnya: “Akan mati roh-ku karena matinya filosof.”
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan:
Pemikiran Teologi Ibnu Rusyd berkisar antara:
1. Peranan Akal
Ibnu Rusyd merupakan seorang
filosof Islam yang mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua
persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal.
2. Pengetahuan Tuhan
(Terhadap hal-hal yang keil)
Sesuatu yang diketahui Tuhan
menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui
hal-hal yang kecil-kecil (juz’iyat), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan
itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna. Dan ini tidak wajar. Maka
itu, sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri.
3. Keazalian Alam
Dalam hal ini Ibnu Rusyd
mengemukakan bahwa alam ini azali tanpa permulaan. Dengan demikian berarti
bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali yaitu, Tuhan & alam ini.
4. Gerakan Yang Azali
Suatu akibat karena setiap
gerakan senantiasa mempunyai sebab yang mendahuluinya. Kalau kita cari sebab
itu, maka tidak akan kita temui semua penggeraknya pula. Begitulah seterusnya
tidak berhenti.
5. Akal Yang Universal
Akal itu adalah suatu yang
universal. Maksudnya bukan saja “akal yang aktif” adalah esa & universal,
tetapi juga “akal kemungkinan” yakni akal reseptif adalah esa & universal
sama dan satu bagi semua orang.
6. Keutusan Rasul &
Mu’jizat
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Hanafi, M.A. “Pengantar Filsafat Islam” Bulan Bintang. Jakarta. 1967
DRS. H.
ABU AHMADI “Filsafat Islam” CV. Toha Putra. Semarang. 1983
DRS.
SUDARSONO.SH. “Filsafat Islam” PT. Rieneka Cipta, Jakarta. 1996
artikelnya bagus, ana sangat mendapatkan manfaat dari artikel antum. terima kasih ya..
BalasHapusmohon izin copy gan
BalasHapus