Berbagai pemikiran yang dilontarkan
akhir-akhir ini di seputar civil society, -- yang di Indonesia telah
diterjemahkan menjadi "masyarakat sipil" atau "masyarakat
madani" itu --, sebenarnya merupakan imbas dari perkembangan pemikiran yang
terjadi di dunia Barat, khususnya di negara-negara industri maju di Eropa Barat
dan Amerika Serikat, dalam perhatian mereka terhadap perkembangan ekonomi,
politik dan sosial-budaya di bekas Uni Soviet dan Eropa Timur.
Namun di kawasan
bekas Blok Sosialis yang sedang dilanda badai liberalisasi dan demokratisasi
itu, berbagai kalangan akademi juga mulai tertarik untuk membicarakan konsep
lama ini. Di Indonesia, -- dalam kaitannya dengan konsep masyarakat sipil ini
--, kita lebih banyak berbicara mengenai demokratisasi politik atau
liberalisasi ekonomi, semacam glasnots dan perestroika seperti yang merebak di
Rusia pada dasawarsa '80-an. Konsep masyarakat sipil sendiri di Indonesia
adalah sebuah istilah asing atau baru, yang ditanggapi dengan penuh kecurigaan,
pengertian "sipil" itu dikesankan sebagai berkaitan dan tandingan
dari "militer", yang dalam masyarakat hadir dalam bentuk dwi-fungsi
ABRI itu.
Dalam masyarakat Barat, civil society sebenarnya adalah konsep lama yang
dilupakan. Ia mulai bangkit atau diungkap lagi dalam kaitannya dengan
perkembangan masyarakat di Eropa Timur di bawah rezim sosialis. Para sarjana di
Barat mula-mula melihat konsep itu dalam gejala pergerakan Serikat Buruh
Solidaritas yang bangkit melawan negara. Dalam sistem sosialis, kehadiran dan
peranan negara sangat kuat. Dimana negara sangat kuat dan mendominasi kehidupan
individu dan masyarakat, maka sulit dibayangkan adanya apa yang disebut civil
society. Tetapi dalam realitas, serikat buruh ternyata cukup kuat dan berperan
sebagai masyarakat sipil berhadapan dengan negara. Dan akhirnya, serikat buruh
itu ternyata mampu menumbangkan rezim yang begitu kuat. Setelah pemerintahan
tumbang, Lech Wawensa, pemimpin Serikat Buruh Solidaritas itu, bahkan diangkat
menjadi Kepala Negara yang baru.
Dalam teori perjuangan kelas
Marx, buruh dan para penganggur akan melakukan pemberontakan melawan dominasi
kaum borjuis. Tetapi dalam kasus Polandia, rezim sosialis justru mendapat
perlawanan dari kelas buruh. Padahal, rezim sosialis memerintah atas nama kelas
buruh dan kaum borjuis dianggap tidak ada.
Menarik untuk diamati bahwa Polandia adalah sebuah negara yang mayoritas
penduduknya beragama Katholik yang taat. Tidak kebetulan bahwa Sri Paus yang
sekarang menduduki tahta Vatican, adalah seorang rohaniawan yang berasal dari
Polandia. Rupanya, di negara yang sikap pemerintahnya sangat kuat anti-agama
itu, agama Katholik ternyata mampu bertahan. Di balik organisasi dan gerakan
buruh, berdiri kekuatan sosial gereja. Lebih dari itu, fondasi serikat buruh
itu adalah umat beragama yang telah tumbuh menjadi kekuatan rakyat (people's
power). Dalam kasus Polandia, sulit kita berbicara mengenai kesadaran kelas
(class counsciuosness) pada kaum buruh, karena dalam sistem itu tidak dikenal
kelas kapitalis. Yang lebih nampak adalah kesadaran agama yang ternyata mampu
mengatasi kesadaran kelas.
Gerakan kemasyarakatan (social movement) adalah bagian yang esensial dan
merupakan pertanda kehadiran masyarakat sipil. Karena itu kita bisa menarik
kesimpulan, dalam sistem komunispun, sebuah masyarakat sipil bisa tumbuh,
walaupun ia tumbuh sebagai kekuatan reaksi atau anti-tesis terhadap dominasi
negara. Pemerintah yang totaliter itu agaknya memang tidak mampu menemu-kenali
tumbuhnya masyarakat sipil sebagaimana yang dapat dilihat di negara-negara
demokrasi-liberal. Serikat buruh, yang diharapkan mendukung pemerintah itu,
ternyata justru berkembang menjadi masyarakat sipil. Dalam kasus Polandia,
kesadaran sipil itu tumbuh dari masyarakat Katholik yang kuat. Gereja Katholik
ternyata juga mampu mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi rakyat, dan
karena itu menjadi sebuah lembaga dalam masyarakat sipil.
Di Polandia, kita bisa menengok kepada gereja dan umat beragama. Tetapi
bagaimana jika kita melihat di negara-negara lain, misalnya di Uni Soviet,
Cekoslovakia atau RRC? Apakah peranan Gereja Yunani Ordodoks sama kuatnya
dengan Gereja Katholik di Polandia? Ternyata proses liberalisasi ekonomi dan
demokratisasi politik yang terjadi di Rusia itu cukup kuat juga. Jika yang
menggerakkan adalah masyarakat sipil, bagaimana bentuk dan struktur masyarakat
sipil itu? Masyarakat Sipil di RRC mungkin lemah atau tidak tampak. Karena
itulah maka proses demokratisasi politik di situ mengalami kegagalan,
setidak-tidaknya jauh ketinggalan dibanding dengan proses liberalisasi
ekonominya.
Dalam kasus Polandia, agama menjadi ibu dari atau paling tidak memangku
kelahiran masyarakat sipil. Di negara-negara lain, kedudukan dan peranan agama
kurang nampak. Dalam kasus negara sosialis lain, agama justru mengalami
marjinalisasi. Namun, masyarakat sipil mungkin pula tumbuh. Pertanyaannya
adalah, apakah kehadiran agama membuat perbedaan dalam derajat kekuatan suatu
masyarakat sipil?
ARKEOLOGI KONSEP
Secara harfiah, civil society itu sendiri adalah terjemahan dari istilah
Latin, civilis societas, mula-mula dipakai oleh CICERO (106-43 S.M), -- seorang
orator dan pujangga Roma --, yang pengertiannya mengacu kepada gejala budaya
perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah
masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar
pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antar individu menandai
keberadaban suatu jenis masyarakat tersendiri. Masyarakat seperti itu, di zaman
dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota
penghuninyatelah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum sipil
(civil law) sebagai dasar dan yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula
dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya
membentuk masyarakat kota.
Di zaman modern, istilah itu diambil dan dihidupkan lagi oleh John Locke
(1632-1704) dan Rousseau (1712-1778) untuk mengungkapkan pemikirannya mengenai
masyarakat dan politik. Locke umpamanya, mendefinisikan masyarakat sipil
sebagai "masyarakat politik" (political society). Pengertian tentang
gejala tersebut dihadapkan dengan pengertian tentang gejala "otoritas
paternal" (peternal authority) atau "keadalan alami" (state of
nature) suatu kelompok manusia. Ciri dari suatu masyarakat sipil, selain
terdapatnya tata kehidupan politik yang terikat pada hukum, juga adanya
kehidupan ekonomi yang didasarkan pada sistem uang sebagai alat tukar,
terjadinya kegiatan tukar menukar atau perdagangan dalam suatu pasar bebas,
demikian pula terjadinya perkembangan teknologi yang dipakai untuk
mensejahterakan dan memuliakan hidup sebagai ciri dari suatu masyarakat yang
telah beradab.
Masyarakat politik itu sendiri, adalah merupakan hasil dari suatu
perjanjian kemasyarakatan (social contract), suatu konsep yang dikemukakan oleh
Rousseau, seorang filsuf sosial Prancis abad ke-18. Dalam perjanjian
kemasyarakatan tersebut anggota masyarakat telah menerima suatu pola
perhubungan dan pergaulan bersama. Masyarakat seperti ini membedakan diri dari
keadaan alami dari suatu masyarakat.
Dalam konsep Locke dan Rousseau belum dikenal pembedaan antara
masyarakat sipil dan negara. Karena negara, lebih khusus lagi, pemerintah,
adalah merupakan bagian dan salah satu bentuk masyarakat sipil. Bahkan keduanya
beranggapan bahwa masyarakat sipil adalah pemerintahan sipil, yang membedakan
diri dari masyarakat alami atau keadaan alami.
Pembedaan antara masyarakat sipil dan negara timbul dari pandangan Hegel
(1770-1831), pemikir Jerman yang banyak menarik perhatian, yang ditentang dan
sekaligus diikuti oleh Marx itu. Sama halnya dengan Locke dan Rousseau, Hegel
melihat masyarakat sipil sebagai wilayah kehidupan orang-orang yang telah
meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang
kompetitif. Ini adalah arena, dimana kebutuhan-kebutuhan tertentu atau khusus
dan berbagai kepentingan perorangan bersaing, yang menyebabkan
perpecahan-perpecahan, sehingga masyarakat sipil itu mengandung potensi besar
untuk menghancurkan dirinya. Tapi di sini, masyarakat sipil, tidak sebagaimana
halnya pandangan dua pemikir Inggris dan Prancis yang terdahulu, bukanlah
masyarakat politik. Yang dipandang sebagai masyarakat politik adalah negara.
Oleh Hegel, masyarakat sipil dihadapkan dengan negara. Agaknya, dari teori
Hegel inilah dikenal dikotomi antara negara dan masyarakat (state and society)
Pengertian tentang masyarakat sipil di atas dibalik oleh Hegel dari
pandangan Locke dan Rousseau. Baginya, masyarakat sipil itu bukan satu-satunya
yang dibentuk dalam perjanjian kemasyarakatan (social contract). Dengan
perkataan lain, masyarakat sipil adalah satu bagian saja dari tatanan politik
(political order) secara keseluruhan. Bagian dari tatanan politik yang lain
adalah negara (state). Di sini, yang dimaksud dengan masyarakat sipil adalah
perkumpulan merdeka antara orang seorang yang membentuk apa yang disebutnya
burgerlische Gesellschaft atau masyarakat borjuis (bourgeois society).
Hegel dan para pengikutnya membedakan masyarakat sipil dari dan
berhadapan dengan negara. Yang pertama adalah bentuk perkumpulan yang bersifat
spontan dan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat, tetapi tidak bergantung
pada hukum. Sedangkan yang kedua adalah lembaga hukum dan politik yang
mengayomi masyarakat secara keseluruhan.
Dari berbagai pandangan di atas, kita bisa pula membedakan antara gejala
masyarakat sipil dan masyarakat (society) itu sendiri. Yang pertama adalah
perkumpulan-perkumpulan yang mengandung aspek politik. Sedangkan masyarakat
merangkum keseluruhan perkumpulan, baik yang terartikulasi secara legal-politis
maupun yang tidak, tetapi diayomi, dalam arti diakui kehadirannya dan
dilindungi oleh negara. Bahkan prinsip non-intervensi yang meminimalkan peranan
negara dalam kehidupan ekonomi, misalnya laissez faire, sebagaimana dikatakan
oleh pemikir Marxis Itali, Gramsci, memerlukan legalitas dari atau diciptakan
oleh negara sendiri.
Dengan teori Hegel, yang juga mempunyai banyak pengikut, antara lain
Marx, walaupun ia juga memelintir teori Hegel yang diikutinya itu, maka kita
bisa menggambarkan hasil perjanjian kemasyarakatan itu dari kehidupan alami,
dalam bentuk dikotomis, antara masyarakat sipil dengan kehidupan alami di satu
pihak dan antara masyarakat sipil dengan negara di lain pihak sebagai berikut:
Keadaan alami
><
Masyarakat Sipil (Civil Society)
><
Negara (State) Masyarakat Politik (Political Society)
Masyarakat Ekonomi dan Politik (Economic and Political Society)
* Hegel & Marx & Gramsci
* Locke & Rousseau
Para pemikir di atas mendasarkan diri pada teori State of Nature dari
John Lock dan Social Contract dari Rousseau. Bedanya, kedua pemikir itu
mendefinisikan masyarakat sipil sebagai masyarakat ekomomi maupun politik,
sementara itu Hegel, Marx dan Gramsci, menganggap masyarakat sipil semata-mata
sebagai masyarakat ekonomi, sementara itu mereka memisahkan masyarakat politik
secara sendiri sebagai negara.
Barangkali gambar diatas bisa pula dikonfigurasikan secara vertikal,
dimana negara berada di atas, kehidupan alami di bawah, sedangkan masyarakat
sipil berada ditengah-tengah sebagai berikut:
Negara (State)
Masyarakat Sipil (Civil Society)
Kehidupan Alami (State of Nature)
Untuk lebih jelasnya, masyarakat sipil adalah suatu ruang (realm)
partisipasi masyarakat dalam perkumpulan-perkumpulan sukarela (voluntary
associations), media massa, perkumpulan profesi, serikat buruh dan tani, gereja
atau perkumpulan-perkumpulan keagamaan yang sering juga disebut organisasi
massa di Indonesia.
Para filsuf sosial di atas berbeda dalam menilai ruang-ruang kegiatan di
atas. Lock, Rousseau dan Adam Smith cenderung untuk mengidealisasikan
masyarakat sipil sebagai hasil perkembangan masyarakat pada tahap yang lebih
maju yang memiliki kekuatan yang memancar dari dalam dirinya, berupa
rasionalitas yang akan menuntun anggota masyarakat ke arah kebaikan umum.
Tetapi Hegel mempunyai pandangan yang sebaliknya. Masyarakat sipil mengandung
potensi konflik di antara kepentingan-kepentingan individu yang berbeda dan
bahkan berbenturan. Bagi Hegel, hanya melalui negara saja, kepentingan-kepentingan
umat manusia yang universal bisa terpelihara dan dicapai. Dengan begitu maka
Hegel mengidealisasikan negara, sebagai penumbuhan segala nilai kebaikan.
Melalui pandangan ahli hukum Soepomo, anggota Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPU-PK), kita di Indonesia cenderung
mengikuti konsep Negara-Ideal dari Hegel. Dikombinasikan dengan konsep
integralistik Muler dan monisme Spinosa, kita mamandang negara sebagai
penumbuhan nilai-nilai ideal yang terangkum dalam Pancasila. Sebaliknya, kita
juga cenderung untuk mencurigai masyarakat sipil. Karena itu maka para pemimpin
yang berkuasa selalu cenderung untuk mengintegrasikan masyarakat sipil ke dalam
negara, seperti "Manunggaling Kawulo lan Gusti".
Marx, tampak mengikuti pandangan Hegel, dalam melihat masyarakat sipil
sebagai masyarakat borjuis. Bagi Marx, masyarakat borjuis mencerminkan sistem
kepemilikan modern yang bermuatan nilai materialisme yang kasar, dimana setiap
orang mementingkan diri sendiri (egoism) dan dimana setiap orang berjuang
melawan yang lain. Dalam masyarakat borjuis, kedudukan individu paling
diutamakan. Sebenarnya, baik Marx maupun Hegel memandang masyarakat sipil
sebagai tahap yang jauh lebih maju dalam perkembangan kehidupan umat manusia.
Sungguhpun begitu, masyarakat sipil mempunyai beberapa ciri negatif seperti,
setiap orang memburu kepentingan diri sendiri, serakah, hubungan antar orang
yang tidak hangat, karena setiap orang berusaha menjaga keamanan pribadi.
Masyarakat sipil semacam ini cenderung untuk bergerak ke arah tata
kemasyarakatan yang mengikuti prinsip-prinsipnya sendiri secara mandiri, dan
menjauh dari nilai-nilai etis yang dituntut oleh hukum dan perkumpulan politik.
Memandang buruk masyarakat sipil, sebagai masyarakat borjuis tidak
berarti Marx mengidealisasikan negara. Bagi Marx, negara tak lain adalah badan
pelaksana kepentingan kaum borjuis. Adalah suatu ironi, kata Marx, bahwa negara
yang diidealisasikan sebagai wadah nilai-nilai universal, moral dan cita-cita
kemasyarakatan, ternyata hanya melayani kepentingan manusia secara parsial,
yakni individu-individu yang mengejar kepentingan diri sendiri secara serakah
dan terpisah dari kepentingan umum. Oleh sebab itu, maka menurut Marx, negara
harus dihapuskan, atau akan diruntuhkan oleh kelas buruh. Ketika negara pada
akhirnya akan lenyap dengan sendirinya (withering away of the state), maka yang
tinggal hanyalah suatu masyarakat tanpa kelas. Visi ini berlawanan dengan visi
Hegel, karena di masa depan masyarakat sipillah yang akan runtuh dari dalam,
jika negara telah mampu mengayomi seluruh kepentingan masyarakat.
Namun Gramsci, pemula komunisme-Eropa berkebangsaan Itali itu, punya
pandangan yang berbeda, dengan Marx maupun Hegel. Baginya, masyarakat sipil itu
bukan semata-mata mewadahi kepentingan individu, tetapi di dalamnya juga
terdapat organisasi-organisasi yang berusaha melayani kepentingan orang banyak.
Masyarakat sipil juga memiliki potensi untuk bisa mengatur dirinya sendiri
secara rasional dan mengandung unsur kebebasan.
Gramsci, berbeda dengan Marx
lebih menekankan adanya saling keterkaitan antara masyarakat sipil dan negara.
Memang, masyarakat sipil bisa menjadi benteng dari hegemoni kelas borjuis dan
akhirnya menjadi pendukung negara. Tetapi negara juga memiliki fungsi etis,
misalnya dalam mendidik masyarakat dan mengarahkan perkembangan ekonomi untuk
kepentingan masyarakat. Dalam penglihatannya, negara bisa memiliki berbagai
unsur masyarakat sipil.
Dengan demikian kita sebenarnya memiliki tiga visi mengenai masyarakat
sipil dan negara. Pertama, kehadiran masyarakat sipil hanya bersifat sementara
dalam perkembangan masyarakat. Karena kecenderungannya untuk rusak dari dalam,
maka pada akhirnya masyarakat sipil akan ditelan oleh negara, -- yakni sebuah
negara ideal --, yang merupakan taraf perkembangan masyarakat yang tertinggi.
Kedua, karena negara hanya cerminan saja dari masyarakat sipil dan berfungsi
melayani individu yang serakah, maka negara akan diruntuhkan atau runtuh dengan
sendirinya dalam suatu revolusi proletar. Jika negara lenyap, maka yang tinggal
hanya masyarakat, yakni suatu masyarakat tanpa kelas. Dan ketiga, visi yang
melihat bahwa masyarakat sipil tidak saja bisa menjadi benteng kelas yang
memegang hegemoni, dalam hal ini kelas borjuasi, tetapi bisa pula menjalankan
fungsi etis dalam mendidik masyarakat dan mengarahkan perkembangan ekonomi yang
melayani kepentingan masyarakat. Di lain pihak, masyarakat sipil sendiri juga
terdiri dari organisasi-organisasi yang melayani kepentingan umum, atau memiliki
rasionalitas dan mampu mengatur dirinya sendiri secara bebas. Bisa terjadi
keduanya saling mendukung, dalam arti buruk maupun baik dari segi kepentingan
umum.
MASYARAKAT MADANI
Dalam proses terbentuknya masyarakat sipil dan negara modern di Eropa
Barat dan Amerika Utara, negara telah disingkirkan dari arena politik dan
kenegaraan. Tentang peranan negara itu sendiri banyak timbul kontroversi. Satu
versi pandangan mengajukan prinsip non-intervensi dan laissez faire di bidang
ekonomi, paling tidak peranan negara yang minimal. Versi yang lain menghendaki
peranan negara yang aktif, dalam memelihara kepentingan-kepentingan yang
universal (universal interests), mendidik masyarakat, mengarahkan perkembangan
ekonomi, melindungi hak-hak asasi manusia, membela kepentingan kelompok yang
lemah atau bahkan aktif memberdayakan masyarakat, khususnya di kalangan
marjinal dalam melakukan partisipasi umum.
Di negara-negara sedang berkembang umumnya, pandangan yang dominan
adalah sikap Hegelian terhadap negara. Di satu pihak memandang negara sebagai
perwadahan segala sesuatu yang ideal dan dilain pihak kurang percaya kepada
masyarakat sipil. Kecenderungan ini, terutama bercermin dari pengalaman
Indonesia, dilatar belakangi oleh sejarah kolonialnya.
Di masa kolonial, khususnya menjelang Perang Dunia Kedua, kaum
cendekiawan memainkan peranan penting, baik dalam proses pembentukan masyarakat
maupun dalam upaya meruntuhkan negara kolonial. Di masa kolonial, proses
terbentuknya masyarakat sipil berjalan sangat lambat. Tapi, jika kita melihat
masyarakat sipil dari sudut Lockean, Rousseauan dan Smithian, yakni sebagai
masyarakat ekonomi dan masyarakat politik sekaligus, maka masyarakat sipil yang
bercorak politik lebih cepat berkembang. Di masa kolonial Hindia Belanda, telah
tumbuh berbagai jenis perhimpunan sukarela (voluntary associations), baik yang
bercorak budaya, politik, ekonomi dan keagamaan. Pada umumnya berdirinya
organisasi-organisasi itu, khususnya menjelang Perang Dunia II, dipelopori oleh
kaum cendekiawan.
Boleh dikatakan, kaum cendekiawan bersama-sama dengan ulama, -- yang
sering disebut juga cendekiawan tradisional --, memegang peranan sentral dan
mewarnai pembentukan negara. Mereka terpecah pandangannya, dalam melihat
kedudukan dan peranan agama dalam negara. Di satu pihak, terdapat pendapat yang
menghendaki pemisahan agama dan negara. Dan di lain pihak,-- terutama kelompok
Islam --, menentang sekularisme, mengingat kuatnya unsur keagamaan dalam
masyarakat, khususnya kaum Muslim, yang pada waktu itu mencakup lebih dari 90%
penduduk.
Konsep negara integralistik yang diajukan oleh Soepomo dan dasar negara
Pancasila, adalah sebuah modus kompromi atau mungkin juga sintesa. Dalam modus
itu, agama tidak disisihkan peranannya. Tetapi agama, khususnya agama tertentu,
dicegah untuk mewarnai hukum dan institusi politik. Sebab, jika suatu agama
dinyatakan sebagai dasar negara, maka corak negara akan ditentukan oleh
kelompok yang memiliki otoritas keagamaan, yang tak lain adalah ulama.
Dalam konsep negara integralistik, peranan agama-agama diakui dan
dilindungi, bahkan diakui untuk dijadikan acuan dan sumber dalam mencari sistem
nilai bagi negara. Tetapi nilai-nilai itu oleh perorangan maupun organisasi-organisasi
keagamaan harus diperjuangkan dalam suatu proses yang demokratis.
Misi organisasi-organisasi keagamaan adalah menciptakan suatu masyarakat
etis. Khusus di lingkungan Islam, corak masyarakat yang diatur oleh hukum (rule
of law) sangat ditekankan. Cita "Negara Islam" atau "Masyarakat
Islam", menurut Mohammad Rasyidi, adalah nomokrasi, yakni sebuah negara
dan masyarakat yang mengacu kepada norma-norma hukum.
Dalam negara integralistik, nilai-nilai keagamaan dapat dan bebas untuk
diperjuangkan. Tetapi wujud hasilnya adalah sebuah hukum nasional. Hanya dalam
bidang-bidang tertentu saja, misalnya dalam hukum keluarga, agama Islam
diizinkan untuk diberlakukan secara otonom di kalangan umatnya. Tetapi hukum
Islam itupun tampil sebagai bagian dari hukum nasional. Akibatnya, timbul
kecenderungan untuk menguasai negara atau memperjuangkan nilai-nilai yang
dianut oleh suatu kelompok agama melalui negara. Misalnya umat Islam
memperjuangkan hukum larangan riba menjadi bagian dari UU Perbankan atau hukum
halal-haram ke dalam UU Pangan.
Peranan agama yang kuat seperti di Indonesia, sangat mendukung cita
Negara-Idealis. Di sini, negara dipandang sebagai wadah dan sekaligus
perwujudan nilai-nilai luhur yang bersumber pada agama. Itulah yang menjelaskan
mengapa di Indonesia, demokrasi diberi predikat Pancasila. Karena demokrasi
yang dikehendaki berlaku di Indonesia adalah demokrasi untuk merealisasikan
nilai-nilai luhur Pancasila.
Tapi cita ini cenderung juga menelan atau menenggelamkan keberadaan dan
peranan masyarakat sipil. Setidak-tidaknya, Negara-Ideal ini cenderung untuk
mengintegrasikan masyarakat sipil dengan negara, tetapi berakhir dengan
lenyapnya, atau paling tidak marjinalisasi masyarakat sipil.
Dalam kaitan ini, pandangan Gramsci perlu diperhatikan. Ia melihat
kehadiran masyarakat sipil bisa bermanfaat atau merugikan negara, dengan
perkataan lain, bisa mendukung atau melawan negara. Bertitik tolak dari
pandangan ini, maka perkembangan masyarakat secara positif bisa dilakukan, baik
melalui negara maupun masyarakat sipil. Ini mengharuskan kehadiran masyarakat
sipil maupun negara.
Tradisi dalam gerakan Islam di Indonesia sebenarnya lebih mengacu kepada
suatu pembentukan masyarakat. Islam mengacu kepada integrasi umat atau
masyarakat (Q.s. Ali Imran: 103). Acuan ke arah integrasi umat ini dipegang
terutama oleh Nahdhatul Ulama (NU). Muhammadiyah lebih mengacu kepada
penciptaan masyarakat etis yang progresif menuju ke arah keunggulan (Q.s. al
Baqarah: 104 dan 110). Tapi dalam pandangan NU maupun Muhammadiyah, peranan
negara diperlukan.
Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan
peradaban. Kata al din, -- yang umumnya diterjemahkan sebagai agama --,
berkaitan dengan makna al tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam
pengertian al madinah yang arti harfiyahnya adalah kota. Dengan demikian, maka
civil society diterjemahkan sebagai "masyarakat madani", yang
mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini, agama
merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah
hasilnya.
Sungguhpun begitu, di kalangan umat Islam, bisa terjadi perbedaan
interpretasi mengenai masyarakat madani ini. Perbedaan tersebut timbul dari
perbedaan interpretasi tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat unggul (al
khair al ummah). Ia bisa diartikan sebagai masyarakat sipil, bisa pula negara.
Tetapi jika kita kembali kepada pengertian masyarakat madani, yang merupakan
pemikiran baru di zaman modern ini, maka masyarakat madani mencakup masyarakat sipil
maupun negara. Masalahnya adalah mana yang dianggap primer dan mana yang
sekunder.
Hingga sekarang ini, negara dipandang sebagai primer, walaupun dalam
kenyataannya, masyarakat sipil terlebih dahulu lahir sebelum terbentuknya
negara RI. Perkembangan selanjutnya mengemukakan peranan negara secara menonjol
sebagai agen perubahan. Negara mengalami proses idealisasi. Tetapi seperti
dikatakan Gramsci, negara juga mempunyai peranan dalam pembinaan masyarakat. Di
Indonesia, negara, secara tidak langsung ikut membentuk masyarakat sipil.
Setidak-tidaknya, melalui pembangunan, terutama sejak Orde Baru, negara telah
mengangkat individu-individu untuk memasuki masyarakat ekonomi yang kompetitif.
Sementara itu, tradisi gerakan kemasyarakatan, agaknya tidak hilang begitu
saja, bahkan mengalami revitalisasi. Organisasi-organisasi kemasyarakatan,
merasa tidak cukup puas dengan peranan negara. Hal ini ikut menjelaskan gejala
lahirnya LSM sebagai kekuatan pengimbang dan kekuatan yang memberdayakan
masyarakat-masyarakat marjinal.
Disamping tampak menguatnya peranan negara, kita melihat pula
perkembangan masyarakat sipil. Tapi kita juga melihat gejala ketiga, yakni
pengeintegrasian agama ke dalam negara, sebagai dampak dari pelaksanaan cita
negara integralistik. Tendensi ini datang dari kedua belah pihak. Disatu pihak,
agama tidak mau dan ingin menghindari konfrontasi dengan negara, dan jika bisa,
memanfaatkan sumberdaya negara. Di lain pihak, negara tidak menghendaki
timbulnya masyarakat sipil yang bisa merongrong legitimasi negara.
Namun kecenderungan untuk memanfaatkan negara ini bisa menimbulkan
persaingan di antara agama-agama yang bisa menjadi potensi konflik. Apabila
konflik berkembang, maka agama, sebagai salah satu jenis kepentingan golongan,
bisa mengalami proses seperti yang diramalkan Hegel. Oleh sebab itu dialog
antar agama merupakan kunci, sebagai pengganti persaingan dan konflik.
Agama-agama bisa setuju dalam menginterpretasikan civil society sebagai
masyarakat madani, yakni sebuah masyarakat etis dan masyarakat yang berbudaya.
Dalam dialog tersebut, agama-agama perlu menemu-kenali apa yang disebut Hegel
sebagai "kepentingan-kepentingan universal" umat manusia, dan
memperjuangkannya secara bersama-sama. Jika pada tingkat masyarakat sipil,
masalah ini dipecahkan, maka negara tidak perlu melakukan intervensi yang dampaknya
bisa memarjinalisasikan masyarakat sipil.
PENUTUP
Agama di Indonesia, mengambil peranan penting dalam membentuk masyarakat
sipil, khususnya sebagai masyarakat politik. Perkembangan masyarakat sipil ini
ternyata lebih cepat dari pada perkembangan masyarakat ekonomi. Sebagai
dampaknya, peranan negara lebih menonjol dan justru mengambil peran sebagai
agen perubahan sosial yang berdampak terbentuknya masyarakat sipil, dari arti
mencakup masyarakat politik maupun ekonomi.
Kecenderungan yang dominan di Indonesia adalah idealisasi negara,
sebagai wadah nilai-nilai tertinggi. Perjuangan organisasi-organisasi keamanan
ikut mendorong terbentuknya Negara-Ideal, atau Negara-Integralistik sebagai
kompromi dari konflik antara sekularisme dan teokrasi. Dalam Negara-Ideal
tersebut, agama dicegah untuk dominan dalam mewarnai corak negara, tetapi
diberi kesempatan untuk masuk dan membentuk nilai-nilai ideal itu ke dalam
wadah negara.
Namun, kecenderungan idealistik dan integralistik bisa memarginalkan
peranan agama. Marginalisasi agama berarti pengeringan sumber-sumber nilai.
Karena itu nilai-nilai keagamaan perlu dikembangkan dengan memperkuat
masyarakat sipil, sebagai benteng (bastion) kepentingan-kepentingan dan
aspirasi masyarakat, termasuk masyarakat agama, yang kedudukannya cukup dominan
dalam masyarakat Indonesia.
Tetapi pertarungan kepentingan-kepentingan sempit kelompok-kelompok
agama bisa mengundang intervensi negara yang bisa berdampak marjinalisasi
masyarakat sipil dan agama itu sendiri. Karena itu masyarakat sipil perlu terus
menerus memelihara rasionalitasnya dan kemampuannya untuk bisa mengatur diri
sendiri secara mandiri. Mengingat pentingnya agama-agama, para pemeluk
agama-agama perlu melakukan dialog untuk menemukan kepentingan-kepentingan
universal umat manusia dan sekaligus memelihara dan mengembangkan fungsi
masyarakat sipil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar