BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Hak
Asasi Manusia
Sejarah
ketata-negaraan Indonesia tak pernah sepi dari perjuangan menegakkan hak-hak
asasi manusia (HAM), Piagam UniversalHak-hak Asasi Manusia PBB, baru lahir pada
tahun 1949. tapi, ketika menyusun UUD bagi RI yang akan lahir, dibawah
pemerintahan kolonial Jepang. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
dalam sidang-sidangnya pada akhir Mei 1945 sudah memperbincangkannya.
Semua
pemimpin, pejuang kemerdekaan pada waktu itu pada umumnya sepakat, lebih-lebih
Bung Karno dan Supomo, tetapi juga Hatta, untuk menolak aliran politik
liberalisme yang melahirkan konsep HAM itu di Barat atas dasar filsafah
individualisme. Namun, ketika Bung Karno yang didukung oleh Supomo, ahli hukum
adat, arsitek utama UUD 1945 menyatakan tidak perlunya konsep rights of the
citizens dinyatakan secara eksplesit dalam UUD. Hatta dan Yamin
menentangnya agar Indonesia tidak terjerumus kedalam prinsip negara kekuasaan.
Akhirnya lahirlah pasal 29 UUD 1945 mengenai kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, yang akan ditetapkan
dengan undang-undang itu.
Sungguhpun
begitu, Supomo yang juga pemeran utama penyusunan UUD RIS tahun 1949 dan UUD
Sementara tahun 1950 ternyata berubah pikiran dan memerima pemasukan Deklarasi
PBB tentang HAM kedalam konstitusi, baguan V dari pasal 7 hingga pasal 41
UUD-RIS memuat pasal-pasal HAM secara lengkap. Demikian pula halnya UUDS
mencantumkan konsep HAM sejak pasal 7 hingga 43. Pasal-pasal HAM dalam kedua konstitusi itu pada dasarnya
sama dengan perbedaan rumusan disana-sini.
Pada tahun
1955, Pemilihan Umum pertama yang dilakukan di Indonesia sejak kemerdekaan
antara lain menghasilkan Dewan Konstituante. Pada tahun 1958, dewan telah berhasil
menyusun konsep 19 materi pokok HAM serta hak-hak dan kewajiban warga negara. Akibat
macetnya perdebatan tentang dasar negara, rancangan konstitusi yang sudah 97%
berhasil dirumuskan itu akhirnya batal karena Bung Karno mengumumkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945. Akan tetapi itu semua tidak
berarti bahwa HAM telah hilang sebab UUD 1945 itu sendiri sudah memuat filsafat
maupun pasal-pasal tentang HAM.
Walau
demikian UUD 1945 dinilai terlalu ringkas oleh Hatta antara lain karena
terbatasnya waktu perumusannya. Oleh karena Hatta menganjurkan agar pasal-pasal
HAM itu dirinci lebih lanjut dalam bentuk UU atau kalau perlu dengan ketetapan
MPR. Anjuran Hatta itu sebenarnya telah dilaksanakan oleh MPRS tahun 1966 yang
berbentuk Orde Baru karena lembaga tertinggi negara itu telah berhasil
merumuskan rancangan “Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban
Warganegara” sebanyak 29 pasal dan 2 pasal penutup namun karena sesuatu hal
maka rancangan itu urung lahir sebagai Tap MPRS.
Kini,
setelah lebih dari 25 tahun pengalaman pemvbangunan sebagai pengamalan
pancasila dan UUD 1945 warisan intelektual dan politik sudah waktunya diangkat
dalam konteks persoalan masa kini untuk menghadapi tantangan abad 21.
Presiden
Suharto sendiri sewaktumenjadi Ketua Gerakan Non-Blok telah mengingatkan bahwa
negara-negara Dunia Ketiga tidak bisa mengabaikan empat keprihatinan global,
yakni: lingkungan hidup, hak-hak asasi manusia, tuntutan demokrasi, dan
penciptaan pemerintahan yang baik (good governance).
Akhir-akhir
ini Indonesia memang lagi menghadapi persoalan HAM. Indonesia menilai bahwa
negara-negara kreditor tertentu telah mempergunakan HAM ini sebagai intimidasi
dalam politik Internasional. Ketika KTT Non-Blok baru-baru ini telah menolak
pengkaitan pemberian bantuan luar negeri dengan HAM karena soal ini merupakan
urusan dalam negeri. Tapi agaknya negara-negara industri maju nampaknya akan
tetap mempertahankan prinsip pengkaitan bantuan luar negeri dengan pelaksanaan
HAM. Sikap ini mendorong negara-negara Dunia Ketiga untuk mawas diri.
Namun itu
semua sangat tidak mudah bagi negara-negara yang sedang berkembang untuk
menegakkan HAM seperti yang dikehendaki oleh nefgara-negara maju. Soalnya,
realisasi HAM sangat tergantung pada keberhasilan dan stabilitas politik.
Peranan negara juga menonjol sebagai agen pembangunan. Akibatnya, hak-hak
politik warganegara kerap kali terdesak untuk memnuhi hak-hak sosila, ekonomi, dan
kebudayaan juga dibutuhkan kenaikan pendapatan nasional. Dan untuk mencapai
semua itu maka pemerintah kerap kali harus menjalankan politik mobilisasi.
Karena itu,
disamping perlunya ada Piagam HAM sebagai pedoman bersama antara pemerintah dan
warganegara diperlukan juga pemikiran tentang strategi pelaksanaan HAM dalam
proses pembangunan. Yang penting adalah Indonesia perlu menegakkan HAM atas
dasar kesadaran otonom dan paksaan eksternal.
B. Hak Asasi Manusia
Dalam Islam
1. Peninggalan Kultural
Sementara
pengalaman historis Barat telah melahirkan individu yang otonom yang tampaknya
telah memilih hak-hal asasi sebelum kelahirannya sebagai makhluk sosial bersama
dengan konsep-konsep tentang hak-hakyang dapat dilepaskan tetantang kontrak
sosial diantara sesamanya, maka tradisi Muslim memberikan bukti adanya sikap
lain. Bermula dari alasan-alasan yang berbeda, sikap tersebut mengandung arti
bahwa manusia bukanlah merupakan kesatuan otonom, sebaliknya bahwa ia merupakan kelompok yang lebih luas; keluarga,
marga, suku, bagian sosial atau etnik, kota dan negara secara ideologis
perkauman yang berkembang secara lebih terbuka.
Islma juga
menjelaskan bahwa watak pokok individu adalah watak seseorang yang beriman.
Watak poko itu tidak memisahkan antara unsir ketohanian dengan unsur keduniawian
dan unsur etis dari unsur yuridis. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban
seseorang dalam Islam berbeda dengan apa yang telah ditentukan oleh para
filosof Barat. Dalam Islam dikenal konsep monoteisme dan implikasinya (tauhid),
dengan keinginan yang kuat untuk melaksanakannya melalui niat dan keikhlasan,
kesaksian dimuka umum (shadaqah), naik haji, harus ada kesaksian diri sebagai
bukti keimanan. Sebagai seorang yang beriman, seorang Muslim membuktikan
prestasinya dengan melakukan ibadah dan
sekaligus kehendak Tuhan. Karenanya hak-hak Tuhan lebih penting (huquq Allah)
dari pada hak-hak manusia (huquq al-adami); tepatnya yang terakhir
bergantung pada yang pertama, yang juga mengandung unsur-unsur yang terakhir.
Dengan demikian hubungan antara manusia dan masyarakat berbeda dengan konsepsi
yang terdapat dalam dunia Kristen; karenanya pola solidaritas yang dikenalkan
memiliki sifat yang berbeda.[1]
Hal ini
untuk sebagian telah menjelaskan banyak salah tafsir umum. Para filosof liberal
Eropa, yang percaya pada pemisahan antara gereja dan negara, menanadai
cita-cita politik perkauman Islam (yaitu Negara Islam) dengan sejenis “tahapan
yang terkebelakang”. Rousseau, Stuart Mill, Renan, untuk menyebut sedikit
contoh, menilai Islam tidak akan dapat melahirkan suatu masyarakat yang
rasional dan modern. Sejak saat itu para sejarawan intelektual menyatakan bahwa
hak-hak individu tidak ada dalam Islam di Abad Pertengahan, yang secara tak
langsung berarti bahwa hukum apapun yang mestinya harus bermula dari pertentangan-pertentangan
tradisional dan harus meminjam dari Barat. Hal ini juga telah memberikan cukup
keterangan bagi para ilmuwan sosial Barat untuk menyatakan bahwa kemerdekaan
politik tidak memiliki akar hukum didunia Islam.
Jika
seorang khalifah (pewaris kekuasaan Nabi di bidang hukum dan pemerintahan)
memiliki legitimasi melalui ijma’ sehingga ia dapat mendapatkan
kekuasaan untuk memerintah (mulk), tidak berarti bahwa kekuasaan tersebut
tanpa batas karena Syari’ah (ketentuan moral yang menjadi naskah hukum)
merupakan pengikat dirinya, demikian pula hal-hal yang menjadi kepentingan umum
(maslahah). Umat mempunyai wakil-wakil yang harus diajak konsultasi
melalui musyawarah (syura), atau orang-orang yang memberikan nasihat
moral atau peringatan kepada penguasa (bai’ah). Ulama (ahli agama) tidak
selalu memberikan pendapat (fatwa) yang diharapkan oleh khalifah atau sultan. Mujaddid
atau pembaru, para mahdi atau yang mengaku diri sebagai nabi, dan turuq
atau kelompok-kelompok tasauf (atau secara umum adalah ordo keagamaan),
dapat membahayakan legitimasi penguasa. Tokoh-tokoh skismatik dapat bergerak
hingga menciptakan dinasti-dinasti saingan, menyatakan diri sebagai khalifah
al-rasul yakni penerus nabi, atau ashraf yaitu keturunan Nabi dengan
mengaku menerima perintah dari Tuhan (waliya). Filsuf-filsuf Islam dan
pemikir Arab sejak abad ke-10 dizaman Kristen betapapun berbedanya dengan
Al-Farabi, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyya, dan Ibnu Khaldun yang
kesemuanya menyatakan bahwa masyarakat Islam tak dapat diperintah tanpa
batas-batas tertentu, apapun wewenang Sultan.[2]
Sehubungan
dengan persoalan khusus hak-hak asasi manusia, telah dibuktikan bahwa karena
gaya individualis dan tradisi hidup orang-orang Badui, tidak adanya rasa
memiliki, pada masa Nabi, maka beliau “menganggap penting memasukkan
undang-undang sipil dalam ajaran agama untuk melindungi hak-hal penting manusia
melalui sanksi keagamaan”[3]
2. Peninggalan
[1]Lihat Louis Massinon “Penghormatan manusia
dalam Islam mendahulukan hak suaka atas hak memerangi keadilan”
[2]Bandingkan Hourani (Albert), The Islamic
Thought in the Liberal Age, 1798-1939, London, 1962, hal. a1-24. lihat juga
Hassan (F.), The Concept of State and Law in Islam, Washington D.C.,
1981: Gardet (Louis), La Cite musulmane, Paris 1954; The
Encyclopaedia of Islam, edisi kedua, 1954, khusunya pasal “Khalifa” oleh
Dominique Sourdel, Ann Lambton dkk; Al Baladhuri, kitab futuh al-buldan
(asal-usul Negara Islam), diterjemahkan oleh Philip Hitti dan oleh F. C.
Murgotten, New York, 1924, 2 jilid.
[3]Khadduri (Madjid), Human Rights in Islam.
Hal. 77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar