Halaman

Jumat, 04 Mei 2012

Hak Asasi Manusia


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Lahirnya Hak Asasi Manusia
Sejarah ketata-negaraan Indonesia tak pernah sepi dari perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia (HAM), Piagam UniversalHak-hak Asasi Manusia PBB, baru lahir pada tahun 1949. tapi, ketika menyusun UUD bagi RI yang akan lahir, dibawah pemerintahan kolonial Jepang. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam sidang-sidangnya pada akhir Mei 1945 sudah memperbincangkannya.

Semua pemimpin, pejuang kemerdekaan pada waktu itu pada umumnya sepakat, lebih-lebih Bung Karno dan Supomo, tetapi juga Hatta, untuk menolak aliran politik liberalisme yang melahirkan konsep HAM itu di Barat atas dasar filsafah individualisme. Namun, ketika Bung Karno yang didukung oleh Supomo, ahli hukum adat, arsitek utama UUD 1945 menyatakan tidak perlunya konsep rights of the citizens dinyatakan secara eksplesit dalam UUD. Hatta dan Yamin menentangnya agar Indonesia tidak terjerumus kedalam prinsip negara kekuasaan. Akhirnya lahirlah pasal 29 UUD 1945 mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, yang akan ditetapkan dengan undang-undang itu.
Sungguhpun begitu, Supomo yang juga pemeran utama penyusunan UUD RIS tahun 1949 dan UUD Sementara tahun 1950 ternyata berubah pikiran dan memerima pemasukan Deklarasi PBB tentang HAM kedalam konstitusi, baguan V dari pasal 7 hingga pasal 41 UUD-RIS memuat pasal-pasal HAM secara lengkap. Demikian pula halnya UUDS mencantumkan konsep HAM sejak pasal 7 hingga 43. Pasal-pasal  HAM dalam kedua konstitusi itu pada dasarnya sama dengan perbedaan rumusan disana-sini.
Pada tahun 1955, Pemilihan Umum pertama yang dilakukan di Indonesia sejak kemerdekaan antara lain menghasilkan Dewan Konstituante. Pada tahun 1958, dewan telah berhasil menyusun konsep 19 materi pokok HAM serta hak-hak dan kewajiban warga negara. Akibat macetnya perdebatan tentang dasar negara, rancangan konstitusi yang sudah 97% berhasil dirumuskan itu akhirnya batal karena Bung Karno mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945. Akan tetapi itu semua tidak berarti bahwa HAM telah hilang sebab UUD 1945 itu sendiri sudah memuat filsafat maupun pasal-pasal tentang HAM.
Walau demikian UUD 1945 dinilai terlalu ringkas oleh Hatta antara lain karena terbatasnya waktu perumusannya. Oleh karena Hatta menganjurkan agar pasal-pasal HAM itu dirinci lebih lanjut dalam bentuk UU atau kalau perlu dengan ketetapan MPR. Anjuran Hatta itu sebenarnya telah dilaksanakan oleh MPRS tahun 1966 yang berbentuk Orde Baru karena lembaga tertinggi negara itu telah berhasil merumuskan rancangan “Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara” sebanyak 29 pasal dan 2 pasal penutup namun karena sesuatu hal maka rancangan itu urung lahir sebagai Tap MPRS.
Kini, setelah lebih dari 25 tahun pengalaman pemvbangunan sebagai pengamalan pancasila dan UUD 1945 warisan intelektual dan politik sudah waktunya diangkat dalam konteks persoalan masa kini untuk menghadapi tantangan abad 21.
Presiden Suharto sendiri sewaktumenjadi Ketua Gerakan Non-Blok telah mengingatkan bahwa negara-negara Dunia Ketiga tidak bisa mengabaikan empat keprihatinan global, yakni: lingkungan hidup, hak-hak asasi manusia, tuntutan demokrasi, dan penciptaan pemerintahan yang baik (good governance).
Akhir-akhir ini Indonesia memang lagi menghadapi persoalan HAM. Indonesia menilai bahwa negara-negara kreditor tertentu telah mempergunakan HAM ini sebagai intimidasi dalam politik Internasional. Ketika KTT Non-Blok baru-baru ini telah menolak pengkaitan pemberian bantuan luar negeri dengan HAM karena soal ini merupakan urusan dalam negeri. Tapi agaknya negara-negara industri maju nampaknya akan tetap mempertahankan prinsip pengkaitan bantuan luar negeri dengan pelaksanaan HAM. Sikap ini mendorong negara-negara Dunia Ketiga untuk mawas diri.
Namun itu semua sangat tidak mudah bagi negara-negara yang sedang berkembang untuk menegakkan HAM seperti yang dikehendaki oleh nefgara-negara maju. Soalnya, realisasi HAM sangat tergantung pada keberhasilan dan stabilitas politik. Peranan negara juga menonjol sebagai agen pembangunan. Akibatnya, hak-hak politik warganegara kerap kali terdesak untuk memnuhi hak-hak sosila, ekonomi, dan kebudayaan juga dibutuhkan kenaikan pendapatan nasional. Dan untuk mencapai semua itu maka pemerintah kerap kali harus menjalankan politik mobilisasi.
Karena itu, disamping perlunya ada Piagam HAM sebagai pedoman bersama antara pemerintah dan warganegara diperlukan juga pemikiran tentang strategi pelaksanaan HAM dalam proses pembangunan. Yang penting adalah Indonesia perlu menegakkan HAM atas dasar kesadaran otonom dan paksaan eksternal.
B.     Hak Asasi Manusia Dalam Islam
1.      Peninggalan Kultural
Sementara pengalaman historis Barat telah melahirkan individu yang otonom yang tampaknya telah memilih hak-hal asasi sebelum kelahirannya sebagai makhluk sosial bersama dengan konsep-konsep tentang hak-hakyang dapat dilepaskan tetantang kontrak sosial diantara sesamanya, maka tradisi Muslim memberikan bukti adanya sikap lain. Bermula dari alasan-alasan yang berbeda, sikap tersebut mengandung arti bahwa manusia bukanlah merupakan kesatuan otonom, sebaliknya  bahwa ia merupakan kelompok yang lebih luas; keluarga, marga, suku, bagian sosial atau etnik, kota dan negara secara ideologis perkauman yang berkembang secara lebih terbuka.
Islma juga menjelaskan bahwa watak pokok individu adalah watak seseorang yang beriman. Watak poko itu tidak memisahkan antara unsir ketohanian dengan unsur keduniawian dan unsur etis dari unsur yuridis. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban seseorang dalam Islam berbeda dengan apa yang telah ditentukan oleh para filosof Barat. Dalam Islam dikenal konsep monoteisme dan implikasinya (tauhid), dengan keinginan yang kuat untuk melaksanakannya melalui niat dan keikhlasan, kesaksian dimuka umum (shadaqah), naik haji, harus ada kesaksian diri sebagai bukti keimanan. Sebagai seorang yang beriman, seorang Muslim membuktikan prestasinya dengan melakukan ibadah  dan sekaligus kehendak Tuhan. Karenanya hak-hak Tuhan lebih penting (huquq Allah) dari pada hak-hak manusia (huquq al-adami); tepatnya yang terakhir bergantung pada yang pertama, yang juga mengandung unsur-unsur yang terakhir. Dengan demikian hubungan antara manusia dan masyarakat berbeda dengan konsepsi yang terdapat dalam dunia Kristen; karenanya pola solidaritas yang dikenalkan memiliki sifat yang berbeda.[1]
Hal ini untuk sebagian telah menjelaskan banyak salah tafsir umum. Para filosof liberal Eropa, yang percaya pada pemisahan antara gereja dan negara, menanadai cita-cita politik perkauman Islam (yaitu Negara Islam) dengan sejenis “tahapan yang terkebelakang”. Rousseau, Stuart Mill, Renan, untuk menyebut sedikit contoh, menilai Islam tidak akan dapat melahirkan suatu masyarakat yang rasional dan modern. Sejak saat itu para sejarawan intelektual menyatakan bahwa hak-hak individu tidak ada dalam Islam di Abad Pertengahan, yang secara tak langsung berarti bahwa hukum apapun yang mestinya harus bermula dari pertentangan-pertentangan tradisional dan harus meminjam dari Barat. Hal ini juga telah memberikan cukup keterangan bagi para ilmuwan sosial Barat untuk menyatakan bahwa kemerdekaan politik tidak memiliki akar hukum didunia Islam.
Jika seorang khalifah (pewaris kekuasaan Nabi di bidang hukum dan pemerintahan) memiliki legitimasi melalui ijma’ sehingga ia dapat mendapatkan kekuasaan untuk memerintah (mulk), tidak berarti bahwa kekuasaan tersebut tanpa batas karena Syari’ah (ketentuan moral yang menjadi naskah hukum) merupakan pengikat dirinya, demikian pula hal-hal yang menjadi kepentingan umum (maslahah). Umat mempunyai wakil-wakil yang harus diajak konsultasi melalui musyawarah (syura), atau orang-orang yang memberikan nasihat moral atau peringatan kepada penguasa (bai’ah). Ulama (ahli agama) tidak selalu memberikan pendapat (fatwa) yang diharapkan oleh khalifah atau sultan. Mujaddid atau pembaru, para mahdi atau yang mengaku diri sebagai nabi, dan turuq atau kelompok-kelompok tasauf (atau secara umum adalah ordo keagamaan), dapat membahayakan legitimasi penguasa. Tokoh-tokoh skismatik dapat bergerak hingga menciptakan dinasti-dinasti saingan, menyatakan diri sebagai khalifah al-rasul yakni penerus nabi, atau ashraf yaitu keturunan Nabi dengan mengaku menerima perintah dari Tuhan (waliya). Filsuf-filsuf Islam dan pemikir Arab sejak abad ke-10 dizaman Kristen betapapun berbedanya dengan Al-Farabi, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyya, dan Ibnu Khaldun yang kesemuanya menyatakan bahwa masyarakat Islam tak dapat diperintah tanpa batas-batas tertentu, apapun wewenang Sultan.[2]
Sehubungan dengan persoalan khusus hak-hak asasi manusia, telah dibuktikan bahwa karena gaya individualis dan tradisi hidup orang-orang Badui, tidak adanya rasa memiliki, pada masa Nabi, maka beliau “menganggap penting memasukkan undang-undang sipil dalam ajaran agama untuk melindungi hak-hal penting manusia melalui sanksi keagamaan”[3]
2.      Peninggalan


[1]Lihat Louis Massinon “Penghormatan manusia dalam Islam mendahulukan hak suaka atas hak memerangi keadilan
[2]Bandingkan Hourani (Albert), The Islamic Thought in the Liberal Age, 1798-1939, London, 1962, hal. a1-24. lihat juga Hassan (F.), The Concept of State and Law in Islam, Washington D.C., 1981: Gardet (Louis), La Cite musulmane, Paris 1954; The Encyclopaedia of Islam, edisi kedua, 1954, khusunya pasal “Khalifa” oleh Dominique Sourdel, Ann Lambton dkk; Al Baladhuri, kitab futuh al-buldan (asal-usul Negara Islam), diterjemahkan oleh Philip Hitti dan oleh F. C. Murgotten, New York, 1924, 2 jilid.
[3]Khadduri (Madjid), Human Rights in Islam. Hal. 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar