Halaman

Jumat, 04 Mei 2012

Faraidh


Agama Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci dalam Al-Qur’an agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang meninggal dunia dan hartanya diwarisi.
Agama Islam menghendaki dan meletakkan pinsif adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembentuk dan pembinaan masyarakat dapat ditegakkan.
Maka dala makalah ini kami berusaha menjelaskan tentang pembagian harta warisan, rukun, sebab, syarat-syarat, dan lain sebagainya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Faraidh
Kata waris secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal mirats artinya warisan. Mawaris juga disebut faraidh, bentuk jamak dari kata faridah  atau farada yang artinya ketentuan, atau menentukan.
Faraid atau faridah artinya adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang mendapatkannya, dan berapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.[1]
Kata waris dalam bahasa arab berasal dari kata:
وَرِثَ يَرِثُ إِرْثًا وَمِيْرَاثًا
Dia mewarisi warisan
Kata waris menurut bahasa artinya berpindah sesuatu sari seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah fiqih pengertian waris ialah berpindahnya hak milik dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik berupa harta benda, tanah maupun suatu dari hak-hak syara.
Harta waris adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang setelah ia meninggal, berupa harta benda, hak-haknya, atau yang bukan bersifat kebendaan. Menurut istilah sebagian besar ulama fiqih qarisan disebut tirkah.[2]
B.     Rukun Waris dan Sebab-sebab Memperoleh Warisan
1.      Rukun Waris
Rukun waris ada 3:
a.       Al-muwaris, orang yang diwarisi harta peninggalan atau orang yang mewariskan hertanya.
b.      Al-waris/ahli waris, orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan.
c.       Al-maurus atau al-miras, harta peninggalan si mati.
2.      Sebab-sebab memperoleh warisan.
Dalam ketentuan Islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan ada tiga:
a.       Hubungan kekerabatan
b.      Hubungan perkawinan
c.       Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya.[3]
C.    Syarat-syarat Pewarisan
Syarat-syarat pewarisan ada tiga, yaitu:
1.      Seseorang meninggal secara hakiki atau secara hukum
2.      Ahli waris secara pasti masih hidup ketika pewaris meninggal
3.      Mengetahui golongan ahli waris.[4]
D.    Macam-macam penghalang mendapat warisan
1.      Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap al-mawaris, menyebabkannya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya. Adapun dasar hukum yang melarang ahli waris yang membunuh untuk mewarisi harta peninggalan si mati adalah sabda Rasulullah saw:
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَتَلَ قَتِيْلاً فَإِنَّهُ لاَيَرِثُهُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ غَيْرُ وَاِنْ كَانَ لَهُ وَالِدُهُ اَوْ وَلَدَهُ فَلَيْسَ لِقَاتِلٍ مِيْرَاثٌ (روه أحمد)
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang kurban, maka sesungguhnya ia tidak dapat mewarisinya, walaupun koraban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya sendiri, (begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan.”
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لِقَاتِلٍ مِنَ المِيْرَاثِ شَيْىءٌ (روه النسائى)
Rasulullah saw bersabda: “tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi.
2.      Berlainan agama
Berlainan agama menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan al-muwaris, salah satunya beraga Islam, yang lain bukan Islam. Misalnya ahli waris beragama Islam, muwarisnya beragama keristen, atau sebaliknya. Demikian kesepakatan mayoritas ulama.
Dasar hukumnya adalah hadits Rasulullah saw
لاَيَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ (متفق عليه)
Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam” (Muttafaq ‘alaih).
Hadits riwayat Ashab al-sunnan (penulis kitab-kitab al-sunan) sebagai berikut:
لاَيَتَوَارَثُ أَهْلَ المِلَّتَيْنِ شَتَّى (روه اصحاب السننى)
Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda-beda.” (HR. Ashab al-sunan)
Hal ini diperkuat lagi dengan petunjuk umum Surah An-Nisa ayat 141:
 `s9ur Ÿ@yèøgs ª!$# tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 n?tã tûüÏZÏB÷sçRùQ$# ¸xÎ6y ( النساء: ۱٤۱ )
Dan sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang mukmih).” (QS. An-Nisa :141)
3.      Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaannyatetapi semata-mata keran status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena dianggap sidak cakap melakukan perbuatan hukum. Firman Allah SWT menunjukkan:
z>uŽŸÑ ª!$# ¸xsVtB #Yö6tã %Z.qè=ôJ¨B žw âÏø)tƒ 4n?tã &äóÓx« ( النحل : ٧٥ )
Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun “ (QS. Al-Nahl :75)
Seorang hamba sahaya secara yuridis dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, karena hak-hak kebendaannya berada pada tuannya. Oleh karena itu ia tidak bisa menerima bagian warisan dari tuannya. Demikian pula jika ia sebagai muearis, ia tidak bisa mewariskan hartanya sebelum ia merdeka.[5]
E.     Orang yang berhak menerima warisan dan pembagiannya
Apabila dicermati, ahli waris ada dua macam:
a.       Ahli waris karena nasabiyah, yaitu ahli waris karena hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah.
b.      Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena sebab tertentu, yaitu:
1)      Perkawinan yang sah;
2)      Memerdekakan budak sahaya.
Ahli waris dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat dibedakan kepada:
a.       Ahli waris Ashab al-furuth, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya telah ditentukan dalam al-qur’an. Seperti , , atau .
b.      Ahli waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris as-hab al-furudh.
c.       Ahli waris zawi al-arham, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki hubungan darah, akan tetapi menurut ketentuan Al-Qur’an, tidak berhak menerima bagian warisan.
Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima warisan baik ahli waris nesabiyah maupun sababiyah apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang. 15 orang ahli waris laki-laki dan 10 ahli waris perempuan.[6]
Ahli waris dari pihak laki-laki mereka adalah:
a.       Anak laki-laki
b.      Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.       Ayah
d.      Kakek
e.       Saudara laki-laki seibu seayah
f.       Saudara laki-laki seayah
g.      Saudara laki-laki seibu
h.      Anak saudara laki-laki seayah
i.        Anak saudara laki-laki seayah
j.        Saudara laki-laki seibu seayah
k.      Saudara laki-laki seayah
l.        Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah seayah seibu
m.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah seayah
n.      Suami
o.      Orang laki-laki yang memerdekakan (mu’tiq)
Ahli waris dari pihak perempuan adalah:
a.       Anak perempuan
b.      Ibu
c.       Cucu perempuan dari anak laki-laki
d.      Ibu dari bapak
e.       Ibu dari ibu (ibunya ibu)
f.       Saudara perempuan seibu seayah
g.      Saudara perempuan seayah
h.      Saudara perempuan seibu
i.        Istri
j.        Perempuan yang memerdekakan.
Adapun bagian-bagian yang diterima adalah sebagai berikut:
a.      Ahli waris yang mendapat bagian separo /
1)      Suami, bila istrinya yang meninggal tidak memiliki anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, baik dari dirinya maupun dari suami yang lain. Ketentuan ini berdasarkan ayat:
* öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur 4 (النساء: ۱٢ )
Dan bagimu (suami-saumi) separo bagian harta ditinggalkan oleh istri-istrimu. Jika mereka tidak mempunyai anak“(QS. An-Nisa: 12)
2)      Anak perempuan, apabila tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki, dan ia seorang diri. Ketentuan ini berdasarkan ayat:
bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$#  ( النساء: ۱۱ )
Apabila dia (anak perempuan) sendirian, maka dia mendapat bagian separo harta”. (QS. An-Nisa: 11)
3)      Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki, anak perempuan tadi sendirian, tidak ada anak perempuan kandung atau anak laki-laki.
4)      Saudara perempuan seibu seayah atau seayah saja, apabila saudara perempuan seibu sebapak tidak ada ia hanya separo saja. Firman Allah:
ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts?  (النساء : ۱٧٦ )
Dan jika ia (yang meninggal) mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya”. (QS. An-Nisa: 176)
b.      Ahli waris yang mendapatkan bagian seperempat ()
1)      Suami, apabila istri mempunyai anak baik laik-laki maupun perempuan atau cucu dari anak laki-laki, baik darinya ataupun dari suaminya yang lain. Berdasarkan ayat:
*4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$# $£JÏB Läêò2ts?
Apabila mereka mempunyai anak, maka bagimu seperempat dari harta yang mereka tinggalkan”. (QS. An-Nisa: 12)
2)      Istri, apabila suami tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dari istrinya yang manapun. Maka apabila istrinya itu berbilang, seperempat itu dubagi rata diantara mereka. Firman Allah:
4  Æßgs9ur ßìç/9$# $£JÏB óOçFø.ts? bÎ) öN©9 `à6tƒ öNä3©9 Ós9ur
Dan para istri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak”. (QS. An-Nisa: 12)
c.       Ahli waris yang mendapatkan seperdelapan ()
Bagian  merupakan bagian tertentu bagi seorang istri atau beberapa istri dengan syarat suami mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dari istri manapun. Ketentuan ini berdasarkan ayat:
4 bÎ*sù tb$Ÿ2 öNà6s9 Ó$s!ur £`ßgn=sù ß`ßJV9$#
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri itu meperoleh seperdelapan dari harta yang ditinggalkan”. (QS. An-Nisa: 12)
d.      Yang mendapatkan dua pertiga ()
1)      Dua anak perempuan atau lebih apabila tidak bersama-sama dengan saudara laki-lakinya. Firman Allah:
bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? 
Apabila anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka mendapat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”. (QS. An-Nisa: 11)
2)      Dua cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih dengan syarat tidak ada si pewaris, tidak ada dua anak perempuan, tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki yang mendapat bagian ashabah.
3)      Dua saudara perempuan seibu seayah atau lebih apabila tidak ada anak, ayah atau kakek, tidak ada laki-laki yang mendapat bagian ashabah yaitu saudara laki-laki seibu seayah, tidak ada anak perempuan atau cucu perempuan dan anak laki-laki, baik satu orang maupun lebih. Firman Allah:
ybÎ*sù $tFtR%x. Èû÷ütFuZøO$# $yJßgn=sù Èb$sVè=V9$# $®ÿÊE x8ts?
Apabila mereka berdua, maka bagi mereka dua pertiga dari apa yang ditinggalkan”. (QS. An-Nisa: 176)
4)      Dua saudara perempuan seayah atau lebih, apabila tidak ada anak lak-laki, ayah atau kakek, tidak ada laki-laki yang mendapat bagian ashabah yaitu saudara laki-laki seayah, tidak ada anak-anak perempuan atau cucu, cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudara laki-laki seibu seayah atau saudara perempuan seibu seayah.
e.       Yang mendapatkan bagian sepertiga ()
1)      Ibu, apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki, dan tidak meninggalkan dua orang sadara, baik laki-laki ataupun perempuan, baik seibu sebapak, ataupun sebapak saja atau seibu saja. Firman Allah:
 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 
Apabila si mayit tidak mempunyai anak, dan yang mewarisi kedua orang tuanya, maka ibunya mendapat sepertiga bagian, jika yang meninggal itu mempunyai beberpa saudara maka ibunya mendapat seperenam”. (QS.An-Nisa: 11)
2)      Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah:
4 bÎ*sù (#þqçR%Ÿ2 uŽsYò2r& `ÏB y7Ï9ºsŒ ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# 
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu”. (QS. An-Nisa: 12)
f.       Yang mendapat seperenam ()
1)      Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki, atau beserta dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun saudara laki-laki ataupun saudara perempuan, seibu sebapak, sebapak saja atau seibu saja. Firman Allah:
Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 
Dan untuk dua orang ibu bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak”. (QS. An-Nisa: 11)
 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$#
Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam”. (QS. An-Nisa: 11)
2)      Bapak si mayit, apabila yang meninggal mempunyai anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan (berdasarkan Surah An-Nisa ayat 11)
3)      Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang ataupun lebih, apabila bersama seorang anak perempuan tetapi apabila anak perempuan berbilang maa cucu perempuan tadi tidak mendapatkan pusaka. Hadits Nabi:
قَضَ النَّبِىُّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السُّدُسَى لِبِنْتِ الاِبْنِ مَعَ بِنْتِ الصُّلْبِ (روه البخارى)
Nabi saw telah memberikan seperenam untuk seorang anak perempuan dari anak laki-laki beserta anak perempuan”. (HR. Bukhari)
4)      Saudara-saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan, masing-masing mendapat seperenam apabila sendirian, berdasarkan Surah An-Nisa ayat 12. dalam kewarisan disyaratkan tidak ada ayah dan seterusnya, juga tidak ada si pewaris.
5)      Saudara perempuan yang seayah, baik sendiri maupun lebih, apabila beserta saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara sebapak tidak mendapat pusaka.
6)      Nenek, (dari pihak ayah atau dari pihak ibu) apabila ibu tidak ada. Hadits nabi:
اِنَّ النَّبِىَّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ لِلْجَدَّةِ السُّدُ سَ
Sesungguhnya Nabi saw telah menetapkan bagian nenek seperenam dari harta”.
7)      Kakek (ayah dari ayah) apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki, sedangkan bapak tidak ada (berdasarkan ijma’ ulama)[7]
F.     Ashabah
Ashabah ialah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashabah al-furud. Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak, terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahli waris ashab al-furudh. Didalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan yang terdekatlah yang dahulu menerimanya.[8]
1.      Pembagian ashabah
Warisan adalah ashabah dibagi menjadi dua bagian, warisan ashabah keturunan dan warisan ashabah karena sabab.
Warisan ashabah karena keturunan adalah karena adanya hubungan keturunan, sedangkan warisan ashabah karena sebab adalah kerna memerdekakannya.[9]
2.      Macam-macam ashabah menurut garis keturunan
Adapun macam-macam ahli waris ashabah ada tiga macam, yaitu:
a.       Ashabah binafsih (ashabah dengan sendirinya)
Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya) yaitu:
1)  Anak laki-laki
2)  Cucu laki-laki dari garis laki-laki
3)  Bapak
4)  Kakek (dari garis bapak)
5)  Saudara laki-laki sekandung
6)  Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
7)  Saudara laki-laki seayah
8)  Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9)  Paman sekandung
10)  Paman seayah
11)  Anak laki-laki paman sekandung
12)  Anak laki-laki paman seayah
13)  Mu’tiq dan atau mu’tiqah (orang laki-laki / perempuan yang memerdekakan hamba sahaya)
b.      Ashabah bi al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karean bersama-sama dengan ahli waris yang lain yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu (furud al-muqaddarah) ahli waris penerima ashabah bi al-ghair tersebut adalah :
1)      Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
2)      Cucu perempuan sekandung bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
3)      Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
4)      Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.
Ketentuan yang berlaku apabila mereka bergabung menerima bagian ashabah, maka bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Firman Allah:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$#
Allah telah menetapkan bagian waris anak-anakmu untuk seorang anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan”. (QS. An-Nisa: 11)
c.       Ashabah ma’a al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furud al-muqaddarah) ahli waris yang menerima bagian ashabah ma’a al-ghair adalah:
1)      Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih).
2)      Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih).
G.    Ahli waris zawi al-arham
Dalam pengertian umum, isitlah zawi al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang mempunyai hubungan kekerbatan karena hubungan darah dengan si mati.
Didalam pembahasan fiqh mawaris, zawi al-arham digunakan untuk menunjuk ahli waris yang tidak termasuk kedalam ahli waris ashab al-furud dan ashab al-ashabah. Oleh karena itu, menurut ketentuan al-qur’an, mereka itu tidak berhak menerima bagian warisan sepanjang ahli waris al-furud dan ashab al-‘asabah ada.
Telah diketahui bahwa ketentuan ahli waris diatur dalam al-qur’an surah An-Nisa dan hadits muttafaqa’alaih tentang siapa saja ahli waris ashab al-furud dan ashab al-ashabah. Dengan demikian, ahli waris yang tidak termasuk didalam cakupan ayat dan hadits tersebut ialah ahli waris yang tidak berhak menerima warisan dan mereka itulah yang disebut zawi al-arham.
Persoalannya adalah apabila al-muwarris tidak mempunyai ahli waris ashab al-furud da ashab al-‘asabah, sementara yang ada adalah ahli waris zawi al-arham. Maka para ulama berbeda pendapat apakah ahli waris zawi al-arham ini dapat menerima warisan atau tidak.
Menurut penelitian Ibn Rusyd, ahli waris yang termasuk dalam zai al-arham adalah:
a.       Cucu (laki-laki atau perempuan )garis perempuan
b.      Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki
c.       Anak perempuan dan cucu perempuan saudara-saudara perempuan
d.      Anak perempuan dan cucu perempuan paman
e.       Paman seibu
f.       Anak dan cucu saudara-saudara laki-laki seibu
g.      Saudara perempuan bapak
h.      Saudara-saudara ibu
i.        Kakek dari garis ibu
j.        Nenek dari pihak kakek[10]
H.    Hijab
Menurut bahasa hijab artinya penutup atau penghalang. Sedangkan menurut istilah ialah terhalangnya ahli waris menerima warisan, baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian karena adanya ahli waris lain yang lebih berhak menerima warisan. Ahli waris yang menghalangi disebut hijab dan ahli waris yang terhalang disebut mahjub, keadaan menghalangi disebut hijab.[11]
a.       Pembagian hijab
1)      Hijab (terhalang) karena sifat, disini seorang ahli waris terhalang mendapat warisan secara keseluruhan karena adanya predikat tertentu yang melekat padanya. Seperti pembunuh atau murtad.
2)      Hijab (terhalang) karena orang lain, ada ahli waris lain yang lebih berhak menerima warisan sehingga menghalangi seorang ahli waris untuk menerima warisan. Bagian ini terbagi dua:
a)      Penghalang dengan mengurangi bagian orang (nuqsan) yaitu seorang ahli waris yang secara praktis mendapat bagian warisan, akan tetapi karena ada ahli waris lain, dia tidak mendapat bagian yang utuh. Contohnya: bagian ibu yang dikurangi dari  menjadi  karena adanya anak si pewaris, berkurangnya bagian suami dari  menjadi  karena adanya anak. Istri berkurang dari  menjadi  karena sebab yang sama.
b)      Penghalang dengan menghapus bagian orang (hurman) yaitu seseorang yang terhalang sama sekali dari mendapatkan harta warisan karena ada yang lebih berhak darinya. Seperti kakek terhalang oleh anak laki-laki, saudara laki-laki seibu seayah, nenk terhalang oleh ibu, dan seterusnya.
I.       Aul
Secara harfiah, ‘aul artinya bertambah atau meningkat. Sedangkan menurut istilah ialah lebih besarnya jumlah bagian yang harus dibagikan kepada ahli waris dan lebih kecilnya harta waris yang akan dibagikan dalam perhitungan. Hal ini terjadi bila ahli waris berjumlah banyak, sehingga dalam perhitungan menghabiskan harta waris. Padahal masih ada ahli waris yang belum mendapat bagian.
Ada 7 angka yang menjadi pengkal asal masalah, dari 7 angka tersebut, 3 angka bisa di ‘aulkan, sedangkan 4 angka tidak bisa. Adapun 3 angka yang bisa di aulkan ialah 6, 12, dan 24. sedangkan 4 angka yang tidak bisa di ‘aulkan ialah : 2, 3, 4, dan 8. jadi bila asal masalah satu kasusu terjadi atas 4 angka tadi maka dalam kasusu tersebut tidak mungkin ada ‘aul.
Seudah disebutkan asal masalah yang bisa ‘aul adalah angka 6, 12, dan 24. setiap angka bisa di ‘aulkan dengan caranya sendiri. Misalnya 6 bisa di ‘aulkan menjadi 7, 8, 9, dan 10. dengan demikian angka 6 ‘aul sebanyak 4 kali. Baik dengan angka genap maupun dengan angka ganjil dengan cara berurutan, dan tidak bisa di ‘aulkan lebih dari angka-angka itu.
Angka 12 pun bisa di ‘aulkan sampai 17, tetapi hanya dengan angka ganjil. Dengan demikian, angka 12 bisa do ‘aul ke 13, 15, dan 17 berarti bisa di ‘aul sebanyak 3 kali. Angka 24 hanya bisa di ‘aul satu kali, yaitu ke angka 27.[12]
J.      Radd
Radd menurut bahasa berarti kembali, pulang dan berpaling. Adapun menurut istilah adalah berlebihnya harta waris pada asal masalah dan berkurang pada bagian ahli waris. Pengertian ini merupakan kebalikan dari pengertian ‘aul. Masalah ini terjadi apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashab al-furud memperoleh bagiannya. Cara ini ditempuh bertujuan untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris yang ada seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing secara profisional.
Caranya ialah mengurangi angka asal masalah. Sehingga besarnya sama dengan jumlah bagian yang diterima oleh ahli waris.[13]
Dalam setiap kasus tidak mungkin terjadi radd apabila tidak terpenuhi 3 syarat radd, yaitu:
a.       Ada ahli waris yang mendapat bagian pokok (furudh)
b.      Tidak ada pewaris bagian sisa (ashabah)
c.       Ada harta berlebihan tanpa ada yang memiliki haknya.
Apabila harta berlebihan setelah dibagikan kepada semua ahli waris, maka kelebihan harta tersebut dibagikan pada semua ahli waris dibawah ini, selain suami atau istri, mereka ialah:
a.       Anak perempuan
b.      Cucu perempuan dari anak laki-laki
c.       Saudara perempuan seibu seayah
d.      Saudara perempuan seayah
e.       Ibu
f.       Nenek yang sah
g.      Saudara laki-laki seibu
Adapun ayah dan kakek walaupun termasuk dalam orang yang mendapat bagian pokok pada suatu kondisi dan mendapat bagian sisas pada kondisi lain, mereka tidak termasuk orang-orang yang berhak mendapat bagian radd karena ketika dalam suatu kasus ada ayah atau kakek, maka dalam kasus tersebut tidak mungkin terjadi radd karena keduanya menjadi pewaris.
Dari sekian ahli waris yang mendapat bagian pokok, ada 2 orang yang tidak mendapat bagian radd, yaitu suami dan istri, karena hubungan kerabat diantara mereka bukan atas dasar hubungan keturunan melainkan atas dasar hubungan perkawinan.[14]


BAB III
A.    Wasiat
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia. Hukum wasiat adalah sunat. Sesudah Allah menerangkan beberapa ketentuan dalam pembagian harta pusaka, diterangkan bahwa pembagian harta pusaka tersebut hendaknya dijalankan. Firman Allah:
.`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5
Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat”. (QS. An-Nisa: 11)
Rukun wasiat itu ada 4:
1.      Ada orang yang berwasiat
2.      Ada yang menerima wasiat
3.      Sesuatu yang diwasiatkan
4.      Lafad (kalimat) wasiat.
Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apabila di izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda Nabi saw:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اَنَّ النَّاسُ غَضُّوْا مِنَ الغُّلُثِ اِلىَ الرُّبُعِ فَاِنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الثُّلُثِ كَشِيْرٌ (روه البخارء و مسلم)
Dari Ibnu Abbas, Ia berkata: alangkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka dari sepertiga keseperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah saw telah besabdawasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Wasiat hanya ditujuakn kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat tidak sah kecuali apabila diridhakan oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang berwasiat. Sabda Rasulullah saw:
عن ابى امامة قال سمعت النبى صلى الله عليه وسلم يقول ان الله قد اعطى كل ذى عق حقة فلا وصية لوارث (روه الخمسة الا النسائى)
Dari Abu Amanah, saya telah mendengar Nabi saw bersabda: sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris, maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris”. (HR. 5 orang ahli hadits, kecuali Nasai)
Hendaknya pada waktu berwasiat disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang adil. Wasiat diatas adalah wasiat yang berkenaan dengan harta. Adapula wasiat yang berkaitan dengan hak kekuasaan (tanggung jawab) yang akan dijalankan setelah ia meninggal dunia.
Syarat orang yang diserahi menjalankan wasiat yang terakhir ini ialah:
a.       Beragama Islam
b.      Sudah baligh
c.       Orang merdeka
d.      Amanah
e.       Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh yang berwasiat.[15]
B.     Shadaqah
Shadaqah yaitu pemberian sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain dengan tidak mengharapkan balasan dari orang yang menerimanya kecuali mengharapkan pahala dari Allah[16], hukum shadaqah ialah sunat. Hal ini sesuai dengan Firman Allah:
ø-£|Ás?ur !$uZøŠn=tã ( ¨bÎ) ©!$# Ìøgs šúüÏ%Ïd|ÁtFßJø9$# ÇÑÑÈ
Dan bersedekahlah kepada Kami, sesungguhnya Allah memberikan balasan kepada orang yang bersedekah”. (QS. Yusuf: 88)
Rukun dan syarat shadaqah ada 4, yaitu:
1.      Ada yang memberi, syaratnya ialah orang yang berhak memperedarkan hartanya dan memiliki barang yang diberikan
2.      Ada yang diberi, syaratnya yaitu berhak memiliki
3.      Ada ijab qabul
4.      Ada barang yang diberikan, dengan syarat hendaknya barang itu dapat dijual.[17]
C.    Wakaf
Wakaf adalah suatu kata berasal dari bahasa arab, yaitu wakaf artinya menahan, menghentikan atau mengekang. Menurut istilah menghentikan (menahan) perpindahan milik sesuatu harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga menfaat harta itu digunakan untuk mencari keridhaan Allah.[18]
Rukun wakaf ada 4, yaitu:
1.      Yang berwakaf
2.      Sesuatu yang diwakafkan
3.      Tempat berwakaf
4.      Lafad berwakaf
Syarat wakaf ada 3, yakni:
1.      Selama-lamanya
2.      Tunai dan tidak ada khiyar syarat
3.      Hendaknya jelas kepada siapa diwakafkan.[19]
D.    Hibah dan Hadiah
Kata hibah berasal dari bahasa arab yang artinya kebaikan atau keutamaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain baik berupa harta.
Rukun dan syarat hibah ada 4, yaitu:
1.      Shighat hibat, ialah kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang yang melakukan hibah.
2.      Penghibah, ialah orang yang memberikan sesuatu atau harta kepada orang lain.
3.      Penerima hibah
4.      Barang hibah.[20]
Hadiah adalah pemberian dengan tujuan untuk menghormati orang yang diberi disamping untuk mendapatkan ganjaran dari Allah.
Adanya hibah dan hadiah ini didasarkan kepada nash Al-Qur’an:
tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur
Diantara beberapa kebaikan yang tersebut dalam ayat ini yaitu memberikan harta benda yang dikasihi kepada keluarganya yang miskin, kepada anak yatim, kepada orang miskin, kepada orang yang dalam perjalanan, dan kepada orang yang minta (karena tidak punya)”. (QS. Al-Baqarah: 177)
Rukun hadiah ada 4, yaitu:
1.      Yang memberi
2.      Yang diberi
3.      Barang yang diberikan
4.      Ijab qabul
Barang yang dihibahkan atau yang dihadiahkan itu tetap tidak boleh diambil lagi bila telah diterima, dipegang oleh orang yang diberinya dan bis terus menjadi hak miliknya.[21]


BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN:
v  Faraidh ialah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan beberapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.
v  Rukun waris:
1.      Al-muwarris;
2.      Al-waris;
3.      Al-maurus.
v  Sebab-sebab mendapatkan warisan:
1.      Hubungan kekerabatan;
2.      Hubungan perkawinan;
3.      Hubungan sebab memerdekakan budak.
v  Bagian-bagian yang diterima yakni: , , , , , dan.
v  Ashabah ialah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashab al-furud.
v  Hijab ialah terhalangnya ahli waris dalam menerima warisan.
v  Radd adalah berkurangnya bagian ahli waris.
v  Aul adalah bertambah atau meningkat.
v  Shadaqah yaitu pemberian sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain dengan tidak mengharapkan balasan.
v  Wakaf ialah menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga manfaatnya dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah swt.
v  Hibah ialah kebaikan atau keutamaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain baik berupa harta, dan sebagainya.
v  Hadiah ialah pemberian dengan tujuan untuk menhormati orang yang diberi disamping untuk mendapatkan ganjaran dari Allah.


DAFTAR PUSTAKA

Dr. Ahmad Robia, MA. 2001. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Syekh Muhammad Ali ash Shabuni. 1995. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Bandung: Trigenda Karya.

H. Sulaiman Rasyid. 1994. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo

Drs. Sudarsono, SH. 2001. Pokok-pokok Hukum Islam. Jakarta: Rieneka Cipta.

Departemen Agama. 1986. Ilmu Fiqih.


[1]Dr. Ahmad Robiq, MA. Fiqih Mawaris. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2001, hlm: 100-1001
[2]Syekh Muhammad Ali ash Shabuni. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Bandung. Trigenda Karya. 1995. hlm:39-40
[3]Ibid, hlm: 28-29 dan 42
[4]Syeikh Muhammad Ali ash Shabuni. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. hlm: 46
[5]Dr. Ahmad Robiq, MA. Fiqih Mawaris, hlm: 30-40
[6]Ibid, hlm: 59-60
[7]Syekh Muhammad Ali ash Shabuni. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Hlm: 57-73
[8]Dr. Ahmad Robiq, MA. Fiqih Mawaris, hlm: 72-73
[9]Ibid :78
[10]Dr. Ahmad Robiq, MA. Fiqih Mawaris: 73-79
[11]Ibid, 89-90
[12]Syekh Muhammad Ali ash Shabuni. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Hlm: 96-97 dan 132-134
[13]Dr. Ahmad Robiq, MA. Fiqih Mawaris: 116-117
[14]Ibid :140-141
[15]H. Sulaiman Rasyid. Fiqih Islam. Hlm: 371-373
[16]Drs. Sudarsono, SH. Pokok-pokok Hukum Islam. Hal: 499
[17]Ibid, hlm. 327
[18]Departemen Agama. Ilmu Fiqh
[19]Drs. Sudarsono, SH. Pokok-pokok Hukum Islam. Hal: 341-343
[20]Ibid, hlm. 198-203
[21]Drs. Sudarsono, SH. Pokok-Pokok Hukum Islam. Hlm: 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar