Agama Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara
rinci dalam Al-Qur’an agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris
sepeninggal orang yang meninggal dunia dan hartanya diwarisi.
Agama Islam menghendaki dan meletakkan pinsif adil dan
keadilan sebagai salah satu sendi pembentuk dan pembinaan masyarakat dapat
ditegakkan.
Maka dala makalah ini kami berusaha menjelaskan tentang
pembagian harta warisan, rukun, sebab, syarat-syarat, dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Faraidh
Kata waris
secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal mirats artinya warisan.
Mawaris juga disebut faraidh, bentuk jamak dari kata faridah atau farada yang artinya ketentuan, atau
menentukan.
Faraid atau
faridah artinya adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang
mendapatkannya, dan berapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.[1]
Kata waris
dalam bahasa arab berasal dari kata:
وَرِثَ يَرِثُ إِرْثًا وَمِيْرَاثًا
“Dia mewarisi warisan”
Kata waris
menurut bahasa artinya berpindah sesuatu sari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan menurut istilah fiqih pengertian waris ialah berpindahnya hak milik
dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik berupa
harta benda, tanah maupun suatu dari hak-hak syara.
Harta waris
adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang setelah ia meninggal, berupa
harta benda, hak-haknya, atau yang bukan bersifat kebendaan. Menurut istilah
sebagian besar ulama fiqih qarisan disebut tirkah.[2]
B.
Rukun Waris dan Sebab-sebab Memperoleh Warisan
1.
Rukun Waris
Rukun waris ada 3:
a.
Al-muwaris, orang yang diwarisi harta peninggalan atau
orang yang mewariskan hertanya.
b.
Al-waris/ahli waris, orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan.
c.
Al-maurus atau al-miras, harta peninggalan si mati.
2.
Sebab-sebab memperoleh warisan.
Dalam ketentuan Islam, sebab-sebab untuk dapat menerima
warisan ada tiga:
a.
Hubungan kekerabatan
b.
Hubungan perkawinan
c.
Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya.[3]
C.
Syarat-syarat Pewarisan
Syarat-syarat pewarisan ada tiga, yaitu:
1.
Seseorang meninggal secara hakiki atau secara hukum
2.
Ahli waris secara pasti masih hidup ketika pewaris
meninggal
3.
Mengetahui golongan ahli waris.[4]
D.
Macam-macam penghalang mendapat warisan
1.
Pembunuhan
Pembunuhan
yang dilakukan ahli waris terhadap al-mawaris, menyebabkannya tidak dapat
mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya. Adapun dasar hukum yang
melarang ahli waris yang membunuh untuk mewarisi harta peninggalan si mati
adalah sabda Rasulullah saw:
قاَلَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَتَلَ قَتِيْلاً فَإِنَّهُ لاَيَرِثُهُ
وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ غَيْرُ وَاِنْ كَانَ لَهُ وَالِدُهُ اَوْ وَلَدَهُ
فَلَيْسَ لِقَاتِلٍ مِيْرَاثٌ (روه أحمد)
Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa membunuh seorang kurban, maka sesungguhnya ia tidak dapat
mewarisinya, walaupun koraban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya
sendiri, (begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya
sendiri, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan.”
قاَلَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لِقَاتِلٍ مِنَ المِيْرَاثِ شَيْىءٌ
(روه النسائى)
Rasulullah saw bersabda: “tidak ada hak bagi pembunuh
sedikitpun untuk mewarisi.
2.
Berlainan agama
Berlainan
agama menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan
al-muwaris, salah satunya beraga Islam, yang lain bukan Islam. Misalnya ahli
waris beragama Islam, muwarisnya beragama keristen, atau sebaliknya. Demikian
kesepakatan mayoritas ulama.
Dasar hukumnya
adalah hadits Rasulullah saw
لاَيَرِثُ المُسْلِمُ
الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ (متفق عليه)
“Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan
orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam” (Muttafaq ‘alaih).
Hadits riwayat
Ashab al-sunnan (penulis kitab-kitab al-sunan) sebagai berikut:
لاَيَتَوَارَثُ أَهْلَ المِلَّتَيْنِ شَتَّى (روه اصحاب
السننى)
“Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk
agama yang berbeda-beda.” (HR. Ashab al-sunan)
Hal ini
diperkuat lagi dengan petunjuk umum Surah An-Nisa ayat 141:
`s9ur
Ÿ@yèøgs†
ª!$#
tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9
’n?tã
tûüÏZÏB÷sçRùQ$#
¸x‹Î6y™
( النساء: ۱٤۱ )
“Dan
sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk
menguasai orang mukmih).” (QS. An-Nisa :141)
3.
Perbudakan
Perbudakan
menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiaannyatetapi
semata-mata keran status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas
ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena
dianggap sidak cakap melakukan perbuatan hukum. Firman Allah SWT menunjukkan:
z>uŽŸÑ
ª!$#
¸xsVtB
#Y‰ö6tã
%Z.qè=ôJ¨B
žw â‘ωø)tƒ
4’n?tã
&äóÓx«
( النحل : ٧٥ )
“Allah
telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki
yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun “ (QS. Al-Nahl :75)
Seorang hamba
sahaya secara yuridis dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, karena
hak-hak kebendaannya berada pada tuannya. Oleh karena itu ia tidak bisa
menerima bagian warisan dari tuannya. Demikian pula jika ia sebagai muearis, ia
tidak bisa mewariskan hartanya sebelum ia merdeka.[5]
E.
Orang yang berhak menerima warisan dan pembagiannya
Apabila dicermati, ahli waris ada dua macam:
a.
Ahli waris karena nasabiyah, yaitu ahli waris karena
hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah.
b.
Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang
timbul karena sebab tertentu, yaitu:
1)
Perkawinan yang sah;
2)
Memerdekakan budak sahaya.
Ahli waris
dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat
dibedakan kepada:
a.
Ahli waris Ashab al-furuth, yaitu ahli waris yang menerima
bagian yang besar kecilnya telah ditentukan dalam al-qur’an. Seperti
,
, atau
.



b.
Ahli waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang bagian yang
diterimanya adalah sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris
as-hab al-furudh.
c.
Ahli waris zawi al-arham, yaitu ahli waris yang
sesungguhnya memiliki hubungan darah, akan tetapi menurut ketentuan Al-Qur’an,
tidak berhak menerima bagian warisan.
Jumlah
keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima warisan baik ahli
waris nesabiyah maupun sababiyah apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang. 15
orang ahli waris laki-laki dan 10 ahli waris perempuan.[6]
Ahli waris
dari pihak laki-laki mereka adalah:
a.
Anak laki-laki
b.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.
Ayah
d.
Kakek
e.
Saudara laki-laki seibu seayah
f.
Saudara laki-laki seayah
g.
Saudara laki-laki seibu
h.
Anak saudara laki-laki seayah
i.
Anak saudara laki-laki seayah
j.
Saudara laki-laki seibu seayah
k.
Saudara laki-laki seayah
l.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah seayah seibu
m.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah seayah
n.
Suami
o.
Orang laki-laki yang memerdekakan (mu’tiq)
Ahli waris
dari pihak perempuan adalah:
a.
Anak perempuan
b.
Ibu
c.
Cucu perempuan dari anak laki-laki
d.
Ibu dari bapak
e.
Ibu dari ibu (ibunya ibu)
f.
Saudara perempuan seibu seayah
g.
Saudara perempuan seayah
h.
Saudara perempuan seibu
i.
Istri
j.
Perempuan yang memerdekakan.
Adapun
bagian-bagian yang diterima adalah sebagai berikut:
a.
Ahli waris yang mendapat bagian separo / 

1)
Suami, bila istrinya yang meninggal tidak memiliki anak
atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, baik dari dirinya maupun dari suami
yang lain. Ketentuan ini berdasarkan ayat:
*
öNà6s9ur
ß#óÁÏR
$tB
x8ts?
öNà6ã_ºurø—r&
bÎ)
óO©9
`ä3tƒ
£`ßg©9
Ó$s!ur
4 (النساء: ۱٢ )
“Dan
bagimu (suami-saumi) separo bagian harta ditinggalkan oleh istri-istrimu. Jika
mereka tidak mempunyai anak“(QS. An-Nisa: 12)
2)
Anak perempuan, apabila tidak bersama-sama dengan saudara
laki-laki, dan ia seorang diri. Ketentuan ini berdasarkan ayat:
bÎ)ur
ôMtR%x.
Zoy‰Ïmºur
$ygn=sù
ß#óÁÏiZ9$#
( النساء: ۱۱ )
“Apabila
dia (anak perempuan) sendirian, maka dia mendapat bagian separo harta”.
(QS. An-Nisa: 11)
3)
Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak
bersama-sama dengan saudara laki-laki, anak perempuan tadi sendirian, tidak ada
anak perempuan kandung atau anak laki-laki.
4)
Saudara perempuan seibu seayah atau seayah saja, apabila
saudara perempuan seibu sebapak tidak ada ia hanya separo saja. Firman Allah:
ÿ¼ã&s!ur
×M÷zé&
$ygn=sù
ß#óÁÏR
$tB
x8ts?
(النساء : ۱٧٦ )
“Dan
jika ia (yang meninggal) mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya”. (QS. An-Nisa: 176)
b.
Ahli waris yang mendapatkan bagian seperempat (
)

1)
Suami, apabila istri mempunyai anak baik laik-laki maupun
perempuan atau cucu dari anak laki-laki, baik darinya ataupun dari suaminya
yang lain. Berdasarkan ayat:
*4
bÎ*sù
tb$Ÿ2
öNà6s9
Ó$s!ur
£`ßgn=sù
ß`ßJ›V9$#
$£JÏB
Läêò2ts?
“Apabila
mereka mempunyai anak, maka bagimu seperempat dari harta yang mereka tinggalkan”.
(QS. An-Nisa: 12)
2)
Istri, apabila suami tidak mempunyai anak atau cucu dari
anak laki-laki dari istrinya yang manapun. Maka apabila istrinya itu berbilang,
seperempat itu dubagi rata diantara mereka. Firman Allah:
4
Æßgs9ur
ßìç/”9$#
$£JÏB
óOçFø.ts?
bÎ)
öN©9
`à6tƒ
öNä3©9
Ó‰s9ur
“Dan
para istri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu
tidak mempunyai anak”. (QS. An-Nisa: 12)
c.
Ahli waris yang mendapatkan seperdelapan (
)

Bagian
merupakan bagian
tertentu bagi seorang istri atau beberapa istri dengan syarat suami mempunyai
anak atau cucu dari anak laki-laki dari istri manapun. Ketentuan ini
berdasarkan ayat:

4
bÎ*sù
tb$Ÿ2
öNà6s9
Ó$s!ur
£`ßgn=sù
ß`ßJ›V9$#
“Jika
kamu mempunyai anak, maka para istri itu meperoleh seperdelapan dari harta yang
ditinggalkan”. (QS. An-Nisa: 12)
d.
Yang mendapatkan dua pertiga (
)

1)
Dua anak perempuan atau lebih apabila tidak bersama-sama
dengan saudara laki-lakinya. Firman Allah:
bÎ*sù
£`ä.
[ä!$|¡ÎS
s-öqsù
Èû÷ütGt^øO$#
£`ßgn=sù
$sVè=èO
$tB
x8ts?
“Apabila
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka mendapat dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan”. (QS. An-Nisa: 11)
2)
Dua cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih dengan
syarat tidak ada si pewaris, tidak ada dua anak perempuan, tidak bersama-sama
dengan saudara laki-laki yang mendapat bagian ashabah.
3)
Dua saudara perempuan seibu seayah atau lebih apabila
tidak ada anak, ayah atau kakek, tidak ada laki-laki yang mendapat bagian
ashabah yaitu saudara laki-laki seibu seayah, tidak ada anak perempuan atau
cucu perempuan dan anak laki-laki, baik satu orang maupun lebih. Firman Allah:
ybÎ*sù
$tFtR%x.
Èû÷ütFuZøO$#
$yJßgn=sù
Èb$sVè=›V9$#
$®ÿÊE
x8ts?
“Apabila
mereka berdua, maka bagi mereka dua pertiga dari apa yang ditinggalkan”.
(QS. An-Nisa: 176)
4)
Dua saudara perempuan seayah atau lebih, apabila tidak
ada anak lak-laki, ayah atau kakek, tidak ada laki-laki yang mendapat bagian
ashabah yaitu saudara laki-laki seayah, tidak ada anak-anak perempuan atau
cucu, cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudara laki-laki seibu seayah
atau saudara perempuan seibu seayah.
e.
Yang mendapatkan bagian sepertiga (
)

1)
Ibu, apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau
cucu dari anak laki-laki, dan tidak meninggalkan dua orang sadara, baik
laki-laki ataupun perempuan, baik seibu sebapak, ataupun sebapak saja atau
seibu saja. Firman Allah:
bÎ*sù
óO©9
`ä3tƒ
¼ã&©!
Ó$s!ur
ÿ¼çmrOÍ‘urur
çn#uqt/r&
ÏmÏiBT|sù
ß]è=›W9$#
4 bÎ*sù
tb%x.
ÿ¼ã&s!
×ouq÷zÎ)
ÏmÏiBT|sù
â¨ß‰¡9$#
“Apabila
si mayit tidak mempunyai anak, dan yang mewarisi kedua orang tuanya, maka
ibunya mendapat sepertiga bagian, jika yang meninggal itu mempunyai beberpa
saudara maka ibunya mendapat seperenam”. (QS.An-Nisa: 11)
2)
Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu,
baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah:
4
bÎ*sù
(#þqçR%Ÿ2
uŽsYò2r&
`ÏB
y7Ï9ºsŒ
ôMßgsù
âä!%Ÿ2uŽà°
’Îû
Ï]è=›W9$#
“Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu”. (QS. An-Nisa: 12)
f.
Yang mendapat seperenam (
)

1)
Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak
laki-laki, atau beserta dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun
saudara laki-laki ataupun saudara perempuan, seibu sebapak, sebapak saja atau
seibu saja. Firman Allah:
Ïm÷ƒuqt/L{ur
Èe@ä3Ï9
7‰Ïnºur
$yJåk÷]ÏiB
â¨ß‰¡9$#
$£JÏB
x8ts?
bÎ)
tb%x.
¼çms9
Ó$s!ur
“Dan
untuk dua orang ibu bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak”. (QS. An-Nisa: 11)
bÎ*sù
tb%x.
ÿ¼ã&s!
×ouq÷zÎ)
ÏmÏiBT|sù
â¨ß‰¡9$#
“Jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam”.
(QS. An-Nisa: 11)
2)
Bapak si mayit, apabila yang meninggal mempunyai anak
dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan (berdasarkan Surah An-Nisa
ayat 11)
3)
Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang ataupun
lebih, apabila bersama seorang anak perempuan tetapi apabila anak perempuan
berbilang maa cucu perempuan tadi tidak mendapatkan pusaka. Hadits Nabi:
قَضَ النَّبِىُّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السُّدُسَى
لِبِنْتِ الاِبْنِ مَعَ بِنْتِ الصُّلْبِ (روه البخارى)
“Nabi
saw telah memberikan seperenam untuk seorang anak perempuan dari anak laki-laki
beserta anak perempuan”. (HR. Bukhari)
4)
Saudara-saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan,
masing-masing mendapat seperenam apabila sendirian, berdasarkan Surah An-Nisa
ayat 12. dalam kewarisan disyaratkan tidak ada ayah dan seterusnya, juga tidak
ada si pewaris.
5)
Saudara perempuan yang seayah, baik sendiri maupun lebih,
apabila beserta saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara
sebapak tidak mendapat pusaka.
6)
Nenek, (dari pihak ayah atau dari pihak ibu) apabila ibu
tidak ada. Hadits nabi:
اِنَّ النَّبِىَّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ لِلْجَدَّةِ
السُّدُ سَ
“Sesungguhnya Nabi saw telah menetapkan bagian nenek
seperenam dari harta”.
7)
Kakek (ayah dari ayah) apabila beserta anak atau anak
dari anak laki-laki, sedangkan bapak tidak ada (berdasarkan ijma’ ulama)[7]
F.
Ashabah
Ashabah ialah
bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashabah al-furud. Sebagai ahli
waris penerima bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian
banyak, terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama
sekali, karena telah habis diberikan kepada ahli waris ashab al-furudh. Didalam
pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan
yang terdekatlah yang dahulu menerimanya.[8]
1.
Pembagian ashabah
Warisan adalah
ashabah dibagi menjadi dua bagian, warisan ashabah keturunan dan warisan
ashabah karena sabab.
Warisan
ashabah karena keturunan adalah karena adanya hubungan keturunan, sedangkan
warisan ashabah karena sebab adalah kerna memerdekakannya.[9]
2.
Macam-macam ashabah menurut garis keturunan
Adapun
macam-macam ahli waris ashabah ada tiga macam, yaitu:
a.
Ashabah binafsih (ashabah dengan sendirinya)
Yaitu ahli
waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ashabah.
Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang perempuan
yang memerdekakan hamba sahaya) yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari
garis laki-laki
3) Bapak
4) Kakek (dari garis
bapak)
5) Saudara laki-laki
sekandung
6) Anak laki-laki
saudara laki-laki sekandung
7) Saudara laki-laki
seayah
8) Anak laki-laki
saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki
paman sekandung
12) Anak laki-laki
paman seayah
13) Mu’tiq dan atau
mu’tiqah (orang laki-laki / perempuan yang memerdekakan hamba sahaya)
b.
Ashabah bi al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima
bagian sisa karean bersama-sama dengan ahli waris yang lain yang telah menerima
bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima
bagian tertentu (furud al-muqaddarah) ahli waris penerima ashabah bi al-ghair
tersebut adalah :
1)
Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
2)
Cucu perempuan sekandung bersama dengan cucu laki-laki
garis laki-laki
3)
Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki
sekandung
4)
Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki
seayah.
Ketentuan yang
berlaku apabila mereka bergabung menerima bagian ashabah, maka bagian ahli
waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Firman Allah:
ÞOä3ŠÏ¹qãƒ
ª!$#
þ’Îû
öNà2ω»s9÷rr&
( Ìx.©%#Ï9
ã@÷VÏB
Åeáym
Èû÷üu‹sVRW{$#
“Allah telah menetapkan bagian waris anak-anakmu
untuk seorang anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan”. (QS. An-Nisa:
11)
c.
Ashabah ma’a al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima
bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima
bagian sisa. Apabila ahli waris tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu
(al-furud al-muqaddarah) ahli waris yang menerima bagian ashabah ma’a al-ghair
adalah:
1)
Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama
dengan anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih).
2)
Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama
dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih).
G.
Ahli waris zawi al-arham
Dalam
pengertian umum, isitlah zawi al-arham mengandung maksud semua ahli waris yang
mempunyai hubungan kekerbatan karena hubungan darah dengan si mati.
Didalam
pembahasan fiqh mawaris, zawi al-arham digunakan untuk menunjuk ahli waris yang
tidak termasuk kedalam ahli waris ashab al-furud dan ashab al-ashabah. Oleh
karena itu, menurut ketentuan al-qur’an, mereka itu tidak berhak menerima
bagian warisan sepanjang ahli waris al-furud dan ashab al-‘asabah ada.
Telah
diketahui bahwa ketentuan ahli waris diatur dalam al-qur’an surah An-Nisa dan
hadits muttafaqa’alaih tentang siapa saja ahli waris ashab al-furud dan ashab
al-ashabah. Dengan demikian, ahli waris yang tidak termasuk didalam cakupan
ayat dan hadits tersebut ialah ahli waris yang tidak berhak menerima warisan
dan mereka itulah yang disebut zawi al-arham.
Persoalannya
adalah apabila al-muwarris tidak mempunyai ahli waris ashab al-furud da ashab
al-‘asabah, sementara yang ada adalah ahli waris zawi al-arham. Maka para ulama
berbeda pendapat apakah ahli waris zawi al-arham ini dapat menerima warisan
atau tidak.
Menurut
penelitian Ibn Rusyd, ahli waris yang termasuk dalam zai al-arham adalah:
a.
Cucu (laki-laki atau perempuan )garis perempuan
b.
Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki
c.
Anak perempuan dan cucu perempuan saudara-saudara
perempuan
d.
Anak perempuan dan cucu perempuan paman
e.
Paman seibu
f.
Anak dan cucu saudara-saudara laki-laki seibu
g.
Saudara perempuan bapak
h.
Saudara-saudara ibu
i.
Kakek dari garis ibu
j.
Nenek dari pihak kakek[10]
H.
Hijab
Menurut bahasa
hijab artinya penutup atau penghalang. Sedangkan menurut istilah ialah terhalangnya
ahli waris menerima warisan, baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian
karena adanya ahli waris lain yang lebih berhak menerima warisan. Ahli waris
yang menghalangi disebut hijab dan ahli waris yang terhalang disebut mahjub,
keadaan menghalangi disebut hijab.[11]
a.
Pembagian hijab
1)
Hijab (terhalang) karena sifat, disini seorang ahli waris
terhalang mendapat warisan secara keseluruhan karena adanya predikat tertentu
yang melekat padanya. Seperti pembunuh atau murtad.
2)
Hijab (terhalang) karena orang lain, ada ahli waris lain
yang lebih berhak menerima warisan sehingga menghalangi seorang ahli waris
untuk menerima warisan. Bagian ini terbagi dua:
a)
Penghalang dengan mengurangi bagian orang (nuqsan) yaitu
seorang ahli waris yang secara praktis mendapat bagian warisan, akan tetapi
karena ada ahli waris lain, dia tidak mendapat bagian yang utuh. Contohnya:
bagian ibu yang dikurangi dari
menjadi
karena adanya anak si
pewaris, berkurangnya bagian suami dari
menjadi
karena adanya anak.
Istri berkurang dari
menjadi
karena sebab yang
sama.






b)
Penghalang dengan menghapus bagian orang (hurman) yaitu
seseorang yang terhalang sama sekali dari mendapatkan harta warisan karena ada
yang lebih berhak darinya. Seperti kakek terhalang oleh anak laki-laki, saudara
laki-laki seibu seayah, nenk terhalang oleh ibu, dan seterusnya.
I.
Aul
Secara harfiah,
‘aul artinya bertambah atau meningkat. Sedangkan menurut istilah ialah lebih
besarnya jumlah bagian yang harus dibagikan kepada ahli waris dan lebih
kecilnya harta waris yang akan dibagikan dalam perhitungan. Hal ini terjadi
bila ahli waris berjumlah banyak, sehingga dalam perhitungan menghabiskan harta
waris. Padahal masih ada ahli waris yang belum mendapat bagian.
Ada 7 angka
yang menjadi pengkal asal masalah, dari 7 angka tersebut, 3 angka bisa di
‘aulkan, sedangkan 4 angka tidak bisa. Adapun 3 angka yang bisa di aulkan ialah
6, 12, dan 24. sedangkan 4 angka yang tidak bisa di ‘aulkan ialah : 2, 3, 4,
dan 8. jadi bila asal masalah satu kasusu terjadi atas 4 angka tadi maka dalam
kasusu tersebut tidak mungkin ada ‘aul.
Seudah
disebutkan asal masalah yang bisa ‘aul adalah angka 6, 12, dan 24. setiap angka
bisa di ‘aulkan dengan caranya sendiri. Misalnya 6 bisa di ‘aulkan menjadi 7,
8, 9, dan 10. dengan demikian angka 6 ‘aul sebanyak 4 kali. Baik dengan angka
genap maupun dengan angka ganjil dengan cara berurutan, dan tidak bisa di
‘aulkan lebih dari angka-angka itu.
Angka 12 pun
bisa di ‘aulkan sampai 17, tetapi hanya dengan angka ganjil. Dengan demikian,
angka 12 bisa do ‘aul ke 13, 15, dan 17 berarti bisa di ‘aul sebanyak 3 kali.
Angka 24 hanya bisa di ‘aul satu kali, yaitu ke angka 27.[12]
J.
Radd
Radd menurut
bahasa berarti kembali, pulang dan berpaling. Adapun menurut istilah adalah
berlebihnya harta waris pada asal masalah dan berkurang pada bagian ahli waris.
Pengertian ini merupakan kebalikan dari pengertian ‘aul. Masalah ini terjadi
apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris
ashab al-furud memperoleh bagiannya. Cara ini ditempuh bertujuan untuk
mengembalikan sisa harta kepada ahli waris yang ada seimbang dengan bagian yang
diterima masing-masing secara profisional.
Caranya ialah
mengurangi angka asal masalah. Sehingga besarnya sama dengan jumlah bagian yang
diterima oleh ahli waris.[13]
Dalam setiap
kasus tidak mungkin terjadi radd apabila tidak terpenuhi 3 syarat radd, yaitu:
a.
Ada ahli waris yang mendapat bagian pokok (furudh)
b.
Tidak ada pewaris bagian sisa (ashabah)
c.
Ada harta berlebihan tanpa ada yang memiliki haknya.
Apabila harta
berlebihan setelah dibagikan kepada semua ahli waris, maka kelebihan harta
tersebut dibagikan pada semua ahli waris dibawah ini, selain suami atau istri,
mereka ialah:
a.
Anak perempuan
b.
Cucu perempuan dari anak laki-laki
c.
Saudara perempuan seibu seayah
d.
Saudara perempuan seayah
e.
Ibu
f.
Nenek yang sah
g.
Saudara laki-laki seibu
Adapun ayah
dan kakek walaupun termasuk dalam orang yang mendapat bagian pokok pada suatu
kondisi dan mendapat bagian sisas pada kondisi lain, mereka tidak termasuk
orang-orang yang berhak mendapat bagian radd karena ketika dalam suatu kasus
ada ayah atau kakek, maka dalam kasus tersebut tidak mungkin terjadi radd
karena keduanya menjadi pewaris.
Dari sekian
ahli waris yang mendapat bagian pokok, ada 2 orang yang tidak mendapat bagian
radd, yaitu suami dan istri, karena hubungan kerabat diantara mereka bukan atas
dasar hubungan keturunan melainkan atas dasar hubungan perkawinan.[14]
BAB III
A.
Wasiat
Wasiat adalah
pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal
dunia. Hukum wasiat adalah sunat. Sesudah Allah menerangkan beberapa ketentuan
dalam pembagian harta pusaka, diterangkan bahwa pembagian harta pusaka tersebut
hendaknya dijalankan. Firman Allah:
.`ÏB
ω÷èt/
7p§‹Ï¹ur
ÓÅ»qãƒ
!$pkÍ5
“Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat”. (QS.
An-Nisa: 11)
Rukun wasiat
itu ada 4:
1.
Ada orang yang berwasiat
2.
Ada yang menerima wasiat
3.
Sesuatu yang diwasiatkan
4.
Lafad (kalimat) wasiat.
Sebanyak-banyaknya
wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apabila di
izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda Nabi
saw:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اَنَّ النَّاسُ غَضُّوْا مِنَ
الغُّلُثِ اِلىَ الرُّبُعِ فَاِنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ الثُّلُثِ كَشِيْرٌ (روه البخارء و مسلم)
“Dari
Ibnu Abbas, Ia berkata: alangkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka
dari sepertiga keseperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah saw telah
besabdawasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banya”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Wasiat hanya
ditujuakn kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat
tidak sah kecuali apabila diridhakan oleh semua ahli waris yang lain sesudah
meninggalnya yang berwasiat. Sabda Rasulullah saw:
عن ابى امامة قال سمعت النبى صلى الله عليه وسلم يقول ان
الله قد اعطى كل ذى عق حقة فلا وصية لوارث (روه الخمسة الا النسائى)
“Dari Abu Amanah, saya telah mendengar Nabi saw
bersabda: sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris, maka
dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris”.
(HR. 5 orang ahli hadits, kecuali Nasai)
Hendaknya pada
waktu berwasiat disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang adil. Wasiat
diatas adalah wasiat yang berkenaan dengan harta. Adapula wasiat yang berkaitan
dengan hak kekuasaan (tanggung jawab) yang akan dijalankan setelah ia meninggal
dunia.
Syarat orang
yang diserahi menjalankan wasiat yang terakhir ini ialah:
a.
Beragama Islam
b.
Sudah baligh
c.
Orang merdeka
d.
Amanah
e.
Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh
yang berwasiat.[15]
B.
Shadaqah
Shadaqah yaitu
pemberian sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain dengan tidak mengharapkan
balasan dari orang yang menerimanya kecuali mengharapkan pahala dari Allah[16],
hukum shadaqah ialah sunat. Hal ini sesuai dengan Firman Allah:
ø-£‰|Ás?ur
!$uZøŠn=tã
( ¨bÎ)
©!$#
“Ì“øgs†
šúüÏ%Ïd‰|ÁtFßJø9$#
ÇÑÑÈ
“Dan bersedekahlah kepada Kami, sesungguhnya Allah
memberikan balasan kepada orang yang bersedekah”. (QS. Yusuf: 88)
Rukun dan
syarat shadaqah ada 4, yaitu:
1.
Ada yang memberi, syaratnya ialah orang yang berhak
memperedarkan hartanya dan memiliki barang yang diberikan
2.
Ada yang diberi, syaratnya yaitu berhak memiliki
3.
Ada ijab qabul
4.
Ada barang yang diberikan, dengan syarat hendaknya barang
itu dapat dijual.[17]
C.
Wakaf
Wakaf adalah
suatu kata berasal dari bahasa arab, yaitu wakaf artinya menahan, menghentikan
atau mengekang. Menurut istilah menghentikan (menahan) perpindahan milik
sesuatu harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga menfaat harta itu
digunakan untuk mencari keridhaan Allah.[18]
Rukun wakaf
ada 4, yaitu:
1.
Yang berwakaf
2.
Sesuatu yang diwakafkan
3.
Tempat berwakaf
4.
Lafad berwakaf
Syarat wakaf
ada 3, yakni:
1.
Selama-lamanya
2.
Tunai dan tidak ada khiyar syarat
3.
Hendaknya jelas kepada siapa diwakafkan.[19]
D.
Hibah dan Hadiah
Kata hibah
berasal dari bahasa arab yang artinya kebaikan atau keutamaan yang diberikan
oleh suatu pihak kepada pihak lain baik berupa harta.
Rukun dan
syarat hibah ada 4, yaitu:
1.
Shighat hibat, ialah kata-kata yang diucapkan oleh
orang-orang yang melakukan hibah.
2.
Penghibah, ialah orang yang memberikan sesuatu atau harta
kepada orang lain.
3.
Penerima hibah
4.
Barang hibah.[20]
Hadiah adalah
pemberian dengan tujuan untuk menghormati orang yang diberi disamping untuk
mendapatkan ganjaran dari Allah.
Adanya hibah
dan hadiah ini didasarkan kepada nash Al-Qur’an:
’tA#uäur
tA$yJø9$#
4’n?tã
¾ÏmÎm6ãm
“ÍrsŒ
4†n1öà)ø9$#
4’yJ»tGuŠø9$#ur
tûüÅ3»|¡yJø9$#ur
tûøó$#ur
È@‹Î6¡¡9$#
tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur
“Diantara
beberapa kebaikan yang tersebut dalam ayat ini yaitu memberikan harta benda
yang dikasihi kepada keluarganya yang miskin, kepada anak yatim, kepada orang
miskin, kepada orang yang dalam perjalanan, dan kepada orang yang minta (karena
tidak punya)”. (QS. Al-Baqarah: 177)
Rukun hadiah
ada 4, yaitu:
1.
Yang memberi
2.
Yang diberi
3.
Barang yang diberikan
4.
Ijab qabul
Barang yang
dihibahkan atau yang dihadiahkan itu tetap tidak boleh diambil lagi bila telah
diterima, dipegang oleh orang yang diberinya dan bis terus menjadi hak
miliknya.[21]
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN:
v
Faraidh ialah ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa
yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak
berhak mendapatkannya, dan beberapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.
v
Rukun waris:
1.
Al-muwarris;
2.
Al-waris;
3.
Al-maurus.
v
Sebab-sebab mendapatkan warisan:
1.
Hubungan kekerabatan;
2.
Hubungan perkawinan;
3.
Hubungan sebab memerdekakan budak.
v
Bagian-bagian yang diterima yakni:
,
,
,
,
, dan
.






v
Ashabah ialah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli
waris ashab al-furud.
v
Hijab ialah terhalangnya ahli waris dalam menerima
warisan.
v
Radd adalah berkurangnya bagian ahli waris.
v
Aul adalah bertambah atau meningkat.
v
Shadaqah yaitu pemberian sesuatu yang bermanfaat kepada
orang lain dengan tidak mengharapkan balasan.
v
Wakaf ialah menghentikan (menahan) perpindahan milik
suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama sehingga manfaatnya dapat digunakan
untuk mencari keridhaan Allah swt.
v
Hibah ialah kebaikan atau keutamaan yang diberikan oleh
suatu pihak kepada pihak lain baik berupa harta, dan sebagainya.
v
Hadiah ialah pemberian dengan tujuan untuk menhormati
orang yang diberi disamping untuk mendapatkan ganjaran dari Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ahmad Robia, MA. 2001. Fiqh
Mawaris. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syekh Muhammad Ali ash Shabuni.
1995. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Bandung: Trigenda Karya.
H. Sulaiman Rasyid. 1994.
Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Drs. Sudarsono, SH. 2001. Pokok-pokok
Hukum Islam. Jakarta: Rieneka Cipta.
Departemen Agama. 1986. Ilmu
Fiqih.
[1]Dr.
Ahmad Robiq, MA. Fiqih Mawaris. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2001,
hlm: 100-1001
[2]Syekh
Muhammad Ali ash Shabuni. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits.
Bandung. Trigenda Karya. 1995. hlm:39-40
[4]Syeikh
Muhammad Ali ash Shabuni. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. hlm:
46
[5]Dr.
Ahmad Robiq, MA. Fiqih Mawaris, hlm: 30-40
[7]Syekh
Muhammad Ali ash Shabuni. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Hlm:
57-73
[8]Dr.
Ahmad Robiq, MA. Fiqih Mawaris, hlm: 72-73
[10]Dr.
Ahmad Robiq, MA. Fiqih Mawaris: 73-79
[12]Syekh
Muhammad Ali ash Shabuni. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Hlm: 96-97
dan 132-134
[13]Dr.
Ahmad Robiq, MA. Fiqih Mawaris: 116-117
[15]H.
Sulaiman Rasyid. Fiqih Islam. Hlm: 371-373
[16]Drs.
Sudarsono, SH. Pokok-pokok Hukum Islam. Hal: 499
[18]Departemen
Agama. Ilmu Fiqh
[19]Drs.
Sudarsono, SH. Pokok-pokok Hukum Islam. Hal: 341-343
[21]Drs.
Sudarsono, SH. Pokok-Pokok Hukum Islam. Hlm: 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar